Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidak jatuh talak dan tidak berlaku pembebasan budak dalam keadaan dipaksa atau marah," (Hasan Lighairhi, HR Abu Dawud [2193], Ibnu Majah [2046] dan Ahmad [VI/276]).
Kandungan Bab:
1. Abu Dawud menafsirkan ghilaq dengan perkataannya, "Menurutku ghilaq adalah marah." Akan tetap jumhur ulama menafsirkannya dengan ikrah (dipaksa). Seolah orang yang dipaksa tertutup pintu atasnya sehingga ia dengan terpaksa melakukannya. Namun tidak bertentangan kalau kita tafsirkan ghilaq dengan kemarahan yang memuncak, sehingga kemarahannyalah yagn memerintah dan melarang, tertutuplah kendali akal atas dirinya sehingga ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.
2. Penjelasan yang paling baik tentang talaq dalam kondisi ghilaq ini adalah penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Zaadul Ma'ad (V/215), "Guru kami mengatakan, 'Hakikat ghilaq adalah tertutupnya pintu hati seseorang, sehingga ia tidak sengaja berkata-kata atau tidak mengetahui maknanya. Seolah-olah terkunci maksud dan kehendaknya'."
Saya katakan, Abul Abbas al-Mubarrid berkata, "Ghilaq adalah kesempitan hati dan menipisnya kesabaran sehingga tidak ada kerelaan dirinya."
Guru kami berkata, "Termasuk di dalamnya talak orang yang dipaksa, orang gila, orang yang hilang akal karena mabuk atau marah dan setiap orang yang tidak punya keinginan dan tidak mengetahui apa yang dikatakannya."
Marah ada tiga jenis:
1. Marah yang menghilangkan akal sehingga yang bersangkutan tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dalam kondisi seperti ini talaknya tidak dianggap sah tanpa ada perdepatan diantara para ulama.
2. Marah yang masih dalam batas kesadaran, tidak menghalangi yang bersangkutan dari memahami apa yang dikatakannya. Dalam kondisi seperti ini talaknya dianggap sah.
3. Marah yang menguasai diri dan memuncak namun tidak menghilangkan akal secara keseluruhan. Namun terhalang antara dirinya dengan niatnya sehingga ia menyesal atas apa yang ia lakukan apabila kemarahannya telah mereda. Kondisi ini masih dipersoalkan. Namun pendapat yang mengatakan talak dalam kondisi ini tidak jatuh adalah lebih tepat dan lebih terarah.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/81-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar