Di antara langkah syetan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam.
Ironisnya, banyak umat Islam yang terpedaya mengikuti langkah-langkah syetan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya.
Terkadang putusnya hubungan tersebut berlangsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang bersumpah untuk tidak mengajaknya berbicara selama-lamanya atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tak sengaja berpapasan di jalan, ia segara membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis, ia hanya menyalami orang yang sebelum dan sesudahnya, dan sengaja melewatinya.
Inilah salah satu sebab kelemahan di dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamannya pun sangat keras.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudara (sesama muslim) lebih dari tiga hari. Barangsiapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal, maka ia masuk Neraka.”( HR. Abu Dawud, 5/215; Shahihul Jami’, 7635.)
Abu Khirasy Al-Aslami radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memutuskan hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya.”( HR.Al Bukhari, Al-Adabul Mufrad, no.406; Shahihul Jami’ 6557.)
Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antar sesama muslim, cukuplah dengan mengetahui bahwa Allah menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali: hari Senin dan hari Kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosa-nya) kecuali hamba yang antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan.” Difirmankan kepada malaikat: “Tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini, sehingga keduanya kembali berdamai.”( HR. Muslim, 4/1988.)
Jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Allah, ia harus bersilaturrahmi kepada kawannya dan kemudian memberi salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak, maka ia telah lepas dari tanggungan dosa. Adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa ini tetap ada padanya.
Abu Ayyub radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini membuang muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam.”( HR. Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 10/492.)
Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat atau terus-menerus melakukan maksiat, sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan, misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah, maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi bila tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya, menasehati dan mengingatkannya.( Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada Ka’ab bin Malik dan dua kawannya, karena beliau melihat dalam hajr tersebut terdapat maslahat. Sebaliknya beliau menghentikan hajr kepada Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya, karena hajr kepada mereka tidak membawa faedah. (Ibnu Baz). )
(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar