Aku yakin setiap manusia memiliki lembar kehidupan kelam dalam sejarah hidupnya. Dan begitu juga aku. Dipicu oleh kekecewaan terhadap perceraian orang tua, aku terjatuh dalam kubangan dosa dan derita. Meski saat ini aku sudah bekerja di Hong Kong, tapi masa`lalu yang suram itu ternyata sulit dilupakan.
Aku sungguh tak mengerti kenapa dulu bapak dan ibuku pisah ranjang dan memilih kembali ke orang tua masing-masing. Mereka memutuskan pisah, tanpa memperdulikan anak-anaknya. Padahal usiaku baru delapan tahun dengan tiga adik yang masih kecil. Si bungsu yang kembar bahkan masih netek pada ibu. Meski samar-samar, sebagai anak sulung, aku, -panggil saja Delwis- masih bisa mengingat bagaimana perjalanan rumah tangga orang tuaku.
Layaknya mayoritas warga desa kami di Malang, Kakek dan nenek atau kedua orang tua dari ayah ibuku, hidup jauh dari kecukupuan. Sehari-hari mereka bekerja mencari rumput untuk hewan piaraan merangkap buruh tani. Setelah bapak ibu kenalan, pacaran, dan akhirnya menikah, kehidupan tetap tak berubah. Seperti kakek dan nenek, mereka bertani di sawah milik orang lain.
Bapak dan ibuku pernah bercerita, semasa pacaran mereka berjanji akan setia selamnya sampai mati. Biarpuun hidup dalam gubuk bambu dan makan seadanya, mereka bahagia yang penting bisa bersama. Tapi itu dulu, ketika aku dan adik-adiku belum hadir. faktanya, setelah kehadiran anak dalam rumah tangga, janji mulia itu pudar perlahan. Padahal mereka sadar kehadiran anak, sejatinya adalah anugerah. Titipan tuhan yangharus dijaga dan dilimpahi kasih sayang.
Awalnya, orang tuaku menjalankan amanah tersebut. Sebelum perpisahan, mereka bekerja banting tulang siang dan malam. Tak jarang dengan alasan puasa, seharian mereka tidak makan dan minum. Lantaran memang tidak ada yang dimakan. Itu semua hanya demi aku dan adik adikku.
Tiap malam ibu tak pernah di rumah. keliling kampung jualan serabi. Atau jualan kacang rebus dan jagung bakar di stasiun. Siangnya, ibu masih sempat pergi ke sawah mencari sayur semanggi dan menjualnya ke tetangga. Bapakku tak jauh berbeda. Sejak pagi sudah pergi ke sawah, pulang menjelang adzan mahgrib.
Melihat kedua orang tua yang pontang panting mencari nafkah,aku tak tinggal diam. Aku mengambil alih pekerjaan rumah sekaligus menjaga adik-adik.
Mungkin benar, saat itu orang tuaku sudah sangat lelah menghadapai kenyataan hidup. Meskipun sudah ditempuh dengan doa dan usaha. Tapi apakah semata-mata himpitan ekonomi, orang tua lalu memilih berpisah? Kenapa mereka tidak menungguku sedikit lebih dewasa, lagi. Sampai aku bisa mencari uang sendiri?
Tega. Begitulah aku menilai kedua orang tuaku. Hanya karena ego, anak dijadikan korban. Seperti anak kecil yang sedang bertengkar, bapak dan ibu memilih kembali ke orang tua masing-masing. Ibu membawa serta ketiga adiku, sementara aku ikut bapakku. Sunguh tak ku sangka aku bakal berpisah dengan adik-adik dan ibu yang aksayangi.
Jahatnya lagi, ibu tak mau mengunjungiku di rumah bapak. Begitujuga bapak, tak sekalipun mengajakku ke rumah . Bagi aku yang membuka jalan rahim ibunda, sikap mereka sangat keterlaluan. Sampai-sampai aku yang saat itu kelas 4 SD, kerap di cemooh oleh teman-teman. Karena tidak konsen, Instruktur di sekolah pernah memarahiku. Lantaran, tak bisa mengerjakan tugas dipapan tulis.” Goblok, kamu tak punya orang tua lagi’’ujarnya.
Karena tak betah dengan kondisi di rumah, menjelang lulus SD, aku nekat minggat dari rumah. Aku masih berseragam pramuka, karena hari itu sabtu. Bekalku hanya uang iuran bulanan, yang hari itu rencananya hendak kubayarkan kesekolah. Iuran SPP yang menunggak tiga bulan. Tindakan itu terpaksa kulakuka, karena- setelah dua tahun pisah ranjang- belum ada titik terang kapan akur bapak ibumau akur atau bercerai. Mereka Cuma pisah ranjang.
Dalam keadaan suntuk, aku naik bis menuju Surabaya. Tujuanku hanya satu: melepas kejengkelan terhadap sikap orang tua. Namun setiba di terminal Joyo Boyo (waktu itu, sebelum pindah ke Bungurasih) aku kebinggungan sendiri. tak punya arah dan tujuan. Pokoknya aku hanya ingin pergi dari rumah.
Menjadi pengemis dan pencopet
Selama tiga hari empat malam, aku masih belum tahu hendak berbuat apa. sementara uangku ludes tak tersisa. Terpaksa, aku tidur di emperan terminal. Membaur dengan pengemis jalanan dan kaum pinggiran lainnya. Esokannya, aku ikut-ikutan menadahkan tangan layaknya pengemis. Namun berhari-hari dengan kondisi perut yang semakin melilit, tak jua aku beroleh rizeki. Jangankan uang, welas asih saja tak kudapat. Aku malah pernah di tendang karena meminta dengan sedikit memaksa.
Sedikit kusadari kenapa aku tak laku sebagai pengemis. Sebernarnya Tuhan memberikan karunianya yang sangat besar padaku. Di berinya aku wajah yang imut dan manis. Bodyku kelihatan segar dan lumayan bagus meski usiaku baru 12 tahun. Selain itu, rambutku pirang. Tidak terlalu lebat dan sedikit kemerahan, karena sering selulupan atau keramas di sungai.
Gagal menjadi pengemis terminal, aku mencoba melamar kerjaan ke warung yang berjejer di sepanjang terminal. Warung pertama, mjenolak. Warung kedua, ber alasan sepi pembeli. Warung ketiga, tak butuh tenaga lagi. Warung ke empat… kelima… dan seterusnya, hanya membuatku sakit hati. Ternyata bukan hanya orang tua, orang lainpin tak ada yang peduli terhadap nasib gadis kecil yang kehilangan kasih sayang.
Sempat terbersit untuk kembali pulang, tapi aku terlanjur tak punya uang ongkos. Pernah aku mengeluh pada kondektur dan sopir bis jurusan kotaku agar memberi tumpangan. Tapi mereka juga tak punya hati dan perasaan. Di usir! Sangking lelahnya, aku ketiduran di runag tunggu terminal.
Sayup-sayup aku mendengar suara lembut membangunkanku. Karena masih samar dan seperti mimpi, aku tak hirau. Selanjutnya ia menguncang tubuhku pelan. Aku masih tak hirau. Mungkin, karena kesabarannya habis ia membentak dan memukulku dengan kasar. Aku gelagapan. Di hadapanku, berdiri seorang laki-laki berusia 25-an tahun. Rambutnya gondrong di ikat karet. Badannya kurus dan tidak terlalu tinggi. Di lengan kirinya ada tato scorpio. Pakaiannya cukup necis dan bertopi Nike. Dan tatapannya, duh…. Sangarnya minta ampun.
Aku beringsut kebelakang. “ juangan takut’’ujarnya sambil duduk di sampingku. Laki-laki yang mengaku bernama Bandi itu, lalu mengajakku ke tempat tinggalnya yang tak seberapa jauh dari terminal. Sebuah rumah beton berukuran 5 kali 6 meter persegi. Terdiri dari dua kamar plus kamar tamu yang di biarkan los. Ini yang bikin aku risih dan merinding. Tas kresek yang entah apa isinya, hampir memenuhi tiap pojokan rumah. Puntung rokok, kaleng dan botol-botol minuman berserakan di mana-mana. Sepertinya tempat itu tak pernah di bersihkan.
Anehnya, di salah satu kamar-konon bilik Bandi- sangat rapi dan bersih. Poster westlife menhias di setiap dinding. Perabotannyapun lumayan lengkap. Mulai dari lemari plastik hingga TV/VCD. Di kamar Mas Bandi_begitu aku akhirnya memanggil_ memberiku makan, meminjami baju, juga mempersilahkan aku beristirahat.
Singkat cerita, sejak itu hidupkupun berada dalam kekuasaannya. Mas Bandi ternyata seorang pencopet ulung dan pemimpin geng anak-anak pengamen jalanan. Akhirnya di tangannya aku ikut menjadi pencopet, penjambret dan pencuri. Mula-mula, aku canggung saat hendak beroperasi. Tapi karena kerja sama antar time cukup baik, aku -yang pernah ‘’sukses’’ mencopet uang dalam jumblah besar- jadi ketagihan. Setelah jalan dua tahun, aku menjadi pencopet profesional. Banyak bandit lain yang ingin mengajak kerjasama, atau bergabung jadilah, aku dan Mas Bandi-yang kemudian jadi pacarku- jarang beroperasi, kecuali memantau dan memberi komando.
Dengan pendapatan yang semakin meningkat, tiap malam kami hura-hura di tempat-tempat hiburan malam di Surabaya. Sampai suatu hari, Mas Bandi menerima tawaran seorang big bos narkoba untuk menjadi pengedar dengan sistem setor sekali sebulan.awalnya berjalan mulus namun suatu uang setoran tak mencukupi. Terpaksa kami menyusun rencana untuk ‘’turun ke jalan’’. Mencopet!
Namun, setinggi-tingginya tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Pepatah itu sangat tepat untuk melukiskan nahas yang menimpa Mas Bandi. lelaki yang sudah kuanggap seperti dewa ini tertangkap fihak berwajib saat sedang beraksi. Aku yang saat itu tidak jauh dari tempat itu, hanya terduduk lemas tanpa daya. Aku yakin Mas Bandi bakal dihukum berat, karena saat itu ia membawa beberapa butir ekstasi yang hendak di berikan kepada temannya.
Saat menjadio tahanan pilisi, aku masih sering mengunjungi Mas Bandi, mengaku sebagai adiknya. Namun dalam kunjunganku yang kesekian, aku tak lagi bisa menjumpainya di sana. Menurut petugas, Mas Bandi sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan dengan vonis 13 tahun penjara. Ake lemas sekaligus merasa berdosa. Sebab, sewaktu masih dalam tahanan polisi, ia pernah memintaku menghubungi bosnya, minta uang dalam jumblah yang sangat besar. Pesan itu tak kutunaikan, karena aku trauma melihatnya digiring polisi saat penangkapan.
Aku sendirian lagi, tanpa mas bandi yang selama ini menemani hari-hariku. Saat itu aku sempat memutuskan hendak pulang dan kembali ke orang tua. Namun rencana tersebut tak pernah kesampaian. Hari itu saat itu aku nongkrong di terminal seorang wanita paruh baya itu mengajakku kenalan dan berbagi cerita. Ujung-ujungnya, mami W –sebut saja begiitu-menawariku bekerja di tempatnya. Yup, ia seorang mucikari di perkampungan Dolly. Tanpa pikir panjang, ku terima ajakannya.
Resmilah aku menjadi anak buah mami W. Aku di beri fasilitas memadai dan dipinjami uang untuk membeli berbagai kebutuhan terutama baju’’dinas’’. Entah kenapa tidak juga aku menyadari bahwa yang ku lakukan itu salah dan sesat. Kupikir, bekerja sebagai PSK pun butuh pengorbanan dan perjuangan serta memeras keringat demi untuk mendapatkan uang.
Setelah kerja beberapa bulan, aku bisa melunasi hutangku pada mami. Pendapatan berikutnya aku kirimkan ke kampung halaman dan sebagian aku tabung sendiri. Kepada orang tua yang belakangan kudengar sudah resmi bercerai, aku mengaku bekerja di restaurant.
Terserang penyakit kelamin
Bekerja pada dunia malam harus ekstra hati-hati terutama menyangkut kesehatan. Sekali teledor, bisa berakibat fatal. Inilah yang akhirnya terjadi pada diriku. Aku terjangkit penyakit kelamin. Bersamaan denganku, ada teman satu ‘’kantor’’ ku yang beberapa hari lalu di pulangkan ke kampung, setelah dokter menyatakan ia positif terkena HIV/AIDS. Dan beberapa bulang berikutnya ia di kabarkan meninggal dunia.
Astagfirullah! betapa takutnya aku saat itu. Apalagi aku sendiri sedang terbaring di ranjang menahan rasa sakit. Karena kondisiku semakin kritis, aku bahkan harus dilarikan ke rumah sakit. Ya allah, rasanya aku belum siap kembali ke pangkuanMU dalam keadaan berlumur dosa. Sekiranya Engkau memberiku waktu untuk membenahi jalan hidupku. Aku berjanji akan kembali ke jalanMU.
Namun Tuhan tampaknya masih ingin menguji kesungguhanku. Aku tetap di biarkan terbaring tanpa daya. Kepercayaan diriku hilang, uangpun ludes untuk biaya rumah sakit. Aku akhirnya tak punya apa-apa lagi. Untungnya, ada Pak Mus, pelanggan yang tak pernah ngajak kencan ini sering mengunjungiku di bangsal. Laki-laki ‘’STW’’ ini selalu memberiku semangat dan wejangan agar kuat mengahadapi cobaan. Ah, benarkah ini adalah hukuman?
Pak Mus yang ternyata seorang pegawai PJTKI bahkan sampai bersusah payah menjemput orang tuaku di kampung. Ia mengaku sebagai bosku di restauran. Ya allah bertambah dosa aku melihat tetesan air mata orang tuaku. Apalagi mereka bilang, akutak perlu membunuh dan menghukum mereka dengan lari dari rumah. Duh, ingin aku menyembah dan meminta ma’af pada mereka. Tapi aku sudah tak bisa berbuat apa-apa selain terbaring di rarnjang dengan infus di tangan.
Kedatangan orang tua setelah sekian lama berpisah ternyata membawa keajaiban. Tiga hari sejak pertemuan itu, aku di nyatakan sembuh total. Ini benar-benar mukzizat yang tak terperikan. Seperti janjiku, aku bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jalan yang diridloi Allah swt. Melalui Pak Mus pula, aku akhirnya berangkat ke Hong Kong. Melalui kehidupan baru sebagai TKW. Semoga aku belum terlambat untuk menuai kasih sayangNYA.
(Di tuturkan Delwis kepada Kristina Dian S dari apakabar)
Catatan: dimuat tabloid apakabar kolom curhat edisi 11-24 november 2006.
Aku sungguh tak mengerti kenapa dulu bapak dan ibuku pisah ranjang dan memilih kembali ke orang tua masing-masing. Mereka memutuskan pisah, tanpa memperdulikan anak-anaknya. Padahal usiaku baru delapan tahun dengan tiga adik yang masih kecil. Si bungsu yang kembar bahkan masih netek pada ibu. Meski samar-samar, sebagai anak sulung, aku, -panggil saja Delwis- masih bisa mengingat bagaimana perjalanan rumah tangga orang tuaku.
Layaknya mayoritas warga desa kami di Malang, Kakek dan nenek atau kedua orang tua dari ayah ibuku, hidup jauh dari kecukupuan. Sehari-hari mereka bekerja mencari rumput untuk hewan piaraan merangkap buruh tani. Setelah bapak ibu kenalan, pacaran, dan akhirnya menikah, kehidupan tetap tak berubah. Seperti kakek dan nenek, mereka bertani di sawah milik orang lain.
Bapak dan ibuku pernah bercerita, semasa pacaran mereka berjanji akan setia selamnya sampai mati. Biarpuun hidup dalam gubuk bambu dan makan seadanya, mereka bahagia yang penting bisa bersama. Tapi itu dulu, ketika aku dan adik-adiku belum hadir. faktanya, setelah kehadiran anak dalam rumah tangga, janji mulia itu pudar perlahan. Padahal mereka sadar kehadiran anak, sejatinya adalah anugerah. Titipan tuhan yangharus dijaga dan dilimpahi kasih sayang.
Awalnya, orang tuaku menjalankan amanah tersebut. Sebelum perpisahan, mereka bekerja banting tulang siang dan malam. Tak jarang dengan alasan puasa, seharian mereka tidak makan dan minum. Lantaran memang tidak ada yang dimakan. Itu semua hanya demi aku dan adik adikku.
Tiap malam ibu tak pernah di rumah. keliling kampung jualan serabi. Atau jualan kacang rebus dan jagung bakar di stasiun. Siangnya, ibu masih sempat pergi ke sawah mencari sayur semanggi dan menjualnya ke tetangga. Bapakku tak jauh berbeda. Sejak pagi sudah pergi ke sawah, pulang menjelang adzan mahgrib.
Melihat kedua orang tua yang pontang panting mencari nafkah,aku tak tinggal diam. Aku mengambil alih pekerjaan rumah sekaligus menjaga adik-adik.
Mungkin benar, saat itu orang tuaku sudah sangat lelah menghadapai kenyataan hidup. Meskipun sudah ditempuh dengan doa dan usaha. Tapi apakah semata-mata himpitan ekonomi, orang tua lalu memilih berpisah? Kenapa mereka tidak menungguku sedikit lebih dewasa, lagi. Sampai aku bisa mencari uang sendiri?
Tega. Begitulah aku menilai kedua orang tuaku. Hanya karena ego, anak dijadikan korban. Seperti anak kecil yang sedang bertengkar, bapak dan ibu memilih kembali ke orang tua masing-masing. Ibu membawa serta ketiga adiku, sementara aku ikut bapakku. Sunguh tak ku sangka aku bakal berpisah dengan adik-adik dan ibu yang aksayangi.
Jahatnya lagi, ibu tak mau mengunjungiku di rumah bapak. Begitujuga bapak, tak sekalipun mengajakku ke rumah . Bagi aku yang membuka jalan rahim ibunda, sikap mereka sangat keterlaluan. Sampai-sampai aku yang saat itu kelas 4 SD, kerap di cemooh oleh teman-teman. Karena tidak konsen, Instruktur di sekolah pernah memarahiku. Lantaran, tak bisa mengerjakan tugas dipapan tulis.” Goblok, kamu tak punya orang tua lagi’’ujarnya.
Karena tak betah dengan kondisi di rumah, menjelang lulus SD, aku nekat minggat dari rumah. Aku masih berseragam pramuka, karena hari itu sabtu. Bekalku hanya uang iuran bulanan, yang hari itu rencananya hendak kubayarkan kesekolah. Iuran SPP yang menunggak tiga bulan. Tindakan itu terpaksa kulakuka, karena- setelah dua tahun pisah ranjang- belum ada titik terang kapan akur bapak ibumau akur atau bercerai. Mereka Cuma pisah ranjang.
Dalam keadaan suntuk, aku naik bis menuju Surabaya. Tujuanku hanya satu: melepas kejengkelan terhadap sikap orang tua. Namun setiba di terminal Joyo Boyo (waktu itu, sebelum pindah ke Bungurasih) aku kebinggungan sendiri. tak punya arah dan tujuan. Pokoknya aku hanya ingin pergi dari rumah.
Menjadi pengemis dan pencopet
Selama tiga hari empat malam, aku masih belum tahu hendak berbuat apa. sementara uangku ludes tak tersisa. Terpaksa, aku tidur di emperan terminal. Membaur dengan pengemis jalanan dan kaum pinggiran lainnya. Esokannya, aku ikut-ikutan menadahkan tangan layaknya pengemis. Namun berhari-hari dengan kondisi perut yang semakin melilit, tak jua aku beroleh rizeki. Jangankan uang, welas asih saja tak kudapat. Aku malah pernah di tendang karena meminta dengan sedikit memaksa.
Sedikit kusadari kenapa aku tak laku sebagai pengemis. Sebernarnya Tuhan memberikan karunianya yang sangat besar padaku. Di berinya aku wajah yang imut dan manis. Bodyku kelihatan segar dan lumayan bagus meski usiaku baru 12 tahun. Selain itu, rambutku pirang. Tidak terlalu lebat dan sedikit kemerahan, karena sering selulupan atau keramas di sungai.
Gagal menjadi pengemis terminal, aku mencoba melamar kerjaan ke warung yang berjejer di sepanjang terminal. Warung pertama, mjenolak. Warung kedua, ber alasan sepi pembeli. Warung ketiga, tak butuh tenaga lagi. Warung ke empat… kelima… dan seterusnya, hanya membuatku sakit hati. Ternyata bukan hanya orang tua, orang lainpin tak ada yang peduli terhadap nasib gadis kecil yang kehilangan kasih sayang.
Sempat terbersit untuk kembali pulang, tapi aku terlanjur tak punya uang ongkos. Pernah aku mengeluh pada kondektur dan sopir bis jurusan kotaku agar memberi tumpangan. Tapi mereka juga tak punya hati dan perasaan. Di usir! Sangking lelahnya, aku ketiduran di runag tunggu terminal.
Sayup-sayup aku mendengar suara lembut membangunkanku. Karena masih samar dan seperti mimpi, aku tak hirau. Selanjutnya ia menguncang tubuhku pelan. Aku masih tak hirau. Mungkin, karena kesabarannya habis ia membentak dan memukulku dengan kasar. Aku gelagapan. Di hadapanku, berdiri seorang laki-laki berusia 25-an tahun. Rambutnya gondrong di ikat karet. Badannya kurus dan tidak terlalu tinggi. Di lengan kirinya ada tato scorpio. Pakaiannya cukup necis dan bertopi Nike. Dan tatapannya, duh…. Sangarnya minta ampun.
Aku beringsut kebelakang. “ juangan takut’’ujarnya sambil duduk di sampingku. Laki-laki yang mengaku bernama Bandi itu, lalu mengajakku ke tempat tinggalnya yang tak seberapa jauh dari terminal. Sebuah rumah beton berukuran 5 kali 6 meter persegi. Terdiri dari dua kamar plus kamar tamu yang di biarkan los. Ini yang bikin aku risih dan merinding. Tas kresek yang entah apa isinya, hampir memenuhi tiap pojokan rumah. Puntung rokok, kaleng dan botol-botol minuman berserakan di mana-mana. Sepertinya tempat itu tak pernah di bersihkan.
Anehnya, di salah satu kamar-konon bilik Bandi- sangat rapi dan bersih. Poster westlife menhias di setiap dinding. Perabotannyapun lumayan lengkap. Mulai dari lemari plastik hingga TV/VCD. Di kamar Mas Bandi_begitu aku akhirnya memanggil_ memberiku makan, meminjami baju, juga mempersilahkan aku beristirahat.
Singkat cerita, sejak itu hidupkupun berada dalam kekuasaannya. Mas Bandi ternyata seorang pencopet ulung dan pemimpin geng anak-anak pengamen jalanan. Akhirnya di tangannya aku ikut menjadi pencopet, penjambret dan pencuri. Mula-mula, aku canggung saat hendak beroperasi. Tapi karena kerja sama antar time cukup baik, aku -yang pernah ‘’sukses’’ mencopet uang dalam jumblah besar- jadi ketagihan. Setelah jalan dua tahun, aku menjadi pencopet profesional. Banyak bandit lain yang ingin mengajak kerjasama, atau bergabung jadilah, aku dan Mas Bandi-yang kemudian jadi pacarku- jarang beroperasi, kecuali memantau dan memberi komando.
Dengan pendapatan yang semakin meningkat, tiap malam kami hura-hura di tempat-tempat hiburan malam di Surabaya. Sampai suatu hari, Mas Bandi menerima tawaran seorang big bos narkoba untuk menjadi pengedar dengan sistem setor sekali sebulan.awalnya berjalan mulus namun suatu uang setoran tak mencukupi. Terpaksa kami menyusun rencana untuk ‘’turun ke jalan’’. Mencopet!
Namun, setinggi-tingginya tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Pepatah itu sangat tepat untuk melukiskan nahas yang menimpa Mas Bandi. lelaki yang sudah kuanggap seperti dewa ini tertangkap fihak berwajib saat sedang beraksi. Aku yang saat itu tidak jauh dari tempat itu, hanya terduduk lemas tanpa daya. Aku yakin Mas Bandi bakal dihukum berat, karena saat itu ia membawa beberapa butir ekstasi yang hendak di berikan kepada temannya.
Saat menjadio tahanan pilisi, aku masih sering mengunjungi Mas Bandi, mengaku sebagai adiknya. Namun dalam kunjunganku yang kesekian, aku tak lagi bisa menjumpainya di sana. Menurut petugas, Mas Bandi sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan dengan vonis 13 tahun penjara. Ake lemas sekaligus merasa berdosa. Sebab, sewaktu masih dalam tahanan polisi, ia pernah memintaku menghubungi bosnya, minta uang dalam jumblah yang sangat besar. Pesan itu tak kutunaikan, karena aku trauma melihatnya digiring polisi saat penangkapan.
Aku sendirian lagi, tanpa mas bandi yang selama ini menemani hari-hariku. Saat itu aku sempat memutuskan hendak pulang dan kembali ke orang tua. Namun rencana tersebut tak pernah kesampaian. Hari itu saat itu aku nongkrong di terminal seorang wanita paruh baya itu mengajakku kenalan dan berbagi cerita. Ujung-ujungnya, mami W –sebut saja begiitu-menawariku bekerja di tempatnya. Yup, ia seorang mucikari di perkampungan Dolly. Tanpa pikir panjang, ku terima ajakannya.
Resmilah aku menjadi anak buah mami W. Aku di beri fasilitas memadai dan dipinjami uang untuk membeli berbagai kebutuhan terutama baju’’dinas’’. Entah kenapa tidak juga aku menyadari bahwa yang ku lakukan itu salah dan sesat. Kupikir, bekerja sebagai PSK pun butuh pengorbanan dan perjuangan serta memeras keringat demi untuk mendapatkan uang.
Setelah kerja beberapa bulan, aku bisa melunasi hutangku pada mami. Pendapatan berikutnya aku kirimkan ke kampung halaman dan sebagian aku tabung sendiri. Kepada orang tua yang belakangan kudengar sudah resmi bercerai, aku mengaku bekerja di restaurant.
Terserang penyakit kelamin
Bekerja pada dunia malam harus ekstra hati-hati terutama menyangkut kesehatan. Sekali teledor, bisa berakibat fatal. Inilah yang akhirnya terjadi pada diriku. Aku terjangkit penyakit kelamin. Bersamaan denganku, ada teman satu ‘’kantor’’ ku yang beberapa hari lalu di pulangkan ke kampung, setelah dokter menyatakan ia positif terkena HIV/AIDS. Dan beberapa bulang berikutnya ia di kabarkan meninggal dunia.
Astagfirullah! betapa takutnya aku saat itu. Apalagi aku sendiri sedang terbaring di ranjang menahan rasa sakit. Karena kondisiku semakin kritis, aku bahkan harus dilarikan ke rumah sakit. Ya allah, rasanya aku belum siap kembali ke pangkuanMU dalam keadaan berlumur dosa. Sekiranya Engkau memberiku waktu untuk membenahi jalan hidupku. Aku berjanji akan kembali ke jalanMU.
Namun Tuhan tampaknya masih ingin menguji kesungguhanku. Aku tetap di biarkan terbaring tanpa daya. Kepercayaan diriku hilang, uangpun ludes untuk biaya rumah sakit. Aku akhirnya tak punya apa-apa lagi. Untungnya, ada Pak Mus, pelanggan yang tak pernah ngajak kencan ini sering mengunjungiku di bangsal. Laki-laki ‘’STW’’ ini selalu memberiku semangat dan wejangan agar kuat mengahadapi cobaan. Ah, benarkah ini adalah hukuman?
Pak Mus yang ternyata seorang pegawai PJTKI bahkan sampai bersusah payah menjemput orang tuaku di kampung. Ia mengaku sebagai bosku di restauran. Ya allah bertambah dosa aku melihat tetesan air mata orang tuaku. Apalagi mereka bilang, akutak perlu membunuh dan menghukum mereka dengan lari dari rumah. Duh, ingin aku menyembah dan meminta ma’af pada mereka. Tapi aku sudah tak bisa berbuat apa-apa selain terbaring di rarnjang dengan infus di tangan.
Kedatangan orang tua setelah sekian lama berpisah ternyata membawa keajaiban. Tiga hari sejak pertemuan itu, aku di nyatakan sembuh total. Ini benar-benar mukzizat yang tak terperikan. Seperti janjiku, aku bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jalan yang diridloi Allah swt. Melalui Pak Mus pula, aku akhirnya berangkat ke Hong Kong. Melalui kehidupan baru sebagai TKW. Semoga aku belum terlambat untuk menuai kasih sayangNYA.
(Di tuturkan Delwis kepada Kristina Dian S dari apakabar)
Catatan: dimuat tabloid apakabar kolom curhat edisi 11-24 november 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar