H. M. Shoffar Mawardi
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing & menolong kita agar dapat senantiasa
menjadi insan yang berakal. Yang mampu mengendalikan dan mengarahkan dorongan hawa
nafsu serta gejolak syahwat yang ada pada diri kita sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang
ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga dengan izin & pertolongan-Nya kita dapat meningkatkan
lagi derajat ruh kita menjadi “Qolbu” dan “Ruh”.
Qolbu
Ketika nafsu sudah reda dari perbuatan-perbuatan maksiat-maksiatnya & mulai tenang
karenanya, namun terkadang masih berubah-ubah diantara sadar & lalai, atau antara ingat &
lupa antara dorongan taat & maksiat, maka ia dinamakan “Qolbu”.
Orang yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu maka ia sudah dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat & dosa dengan ringan & tenang, karena dorongan-dorongan hawa
nafsu untuk berbuat maksiat & dosa sudah mulai reda dari dirinya. Bahkan ia merasa malu
kepada Allah jika muncul keinginan berbuat maksiat, serta gelisah hatinya jika berbuat khilaf.
Rosulullah SAW bersabda : “Ketika kamu tidak merasa malu, maka berbuatlah apa saja yang
kamu kehendaki” (HR. Bukhari & Muslim). Ini menunjukkan bahwa jika ruh sudah sampai derajat
qolbu, maka akan tumbuhlah rasa malu kepada Allah yang akan menjadi benteng yang sangat
kokoh dari keterjerumusan kepada perbuatan nista & dosa.
Ibadah bagi orang yang berderajat qolbu sudah terasa indah & nikmat. Sholat & dzikirnya
khusyu’, do’a & munajatnya sungguh-sungguh, amalnya ikhlas, pembicaraanya bermakna &
akhlaknya mulia.
Seorang mukmin yang derajat ruhnya sudah naik ke derajat qolbu maka hatinya sudah
mulai dimasuki “Nurullah” atau “Cahaya-cahaya Allah”, hidayah & ilmu karunia-Nya meresap &
bercahaya di dalam qolbunya, sehingga ia dapat dijadikan tempat bertanya & meminta fatwa.
Rasulullah SAW bersabda :”Mintalah fatwa kepada qolbumu. Kebaikan itu adalah yang
menentramkan nafsu & qobu, sedangkan dosa adalah yang menggelisahkan nafsu &
meresahkan qolbu” (HR. Ahmad).
Mukmin yang ruhnya sudah sampai derajat qolbu, maka keimanannya kepada Allah &
Rosul-Nya begitu suci, kokoh & mendalam, mendahului akal & pikirannya. Satu ayat Allah yang
ia dengar atau baca akan langsung bersinar & mencahayai dirinya, mencahayai orang yang di
sisinya, mendorong amal & membangkitkan semangat berjuang di jalan-Nya. Bahkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah ia baca walaupun akalnya belum sampai pemahamannya atau bukti belum
ditemukannya, jika itu adalah berita atau janji dari Allah, ia akan mengimani & meyakininya.
Para sahabat Rasulullah SAW adalah gambaran pribadi-pribadi berderajat qolbu ini.
Sesaat setelah masuk Islam, satu ayat Al-Qur’an yang ia dengar atau baca, kemudian satu
taushiah Rasulullah yang ia terima akan merubah kepribadiannya, membangkitkan amalnya &
mengobarkan semangat jihadnya.
Tidak sedikit sahabat Rasulullah SAW yang telah menjadi “Pahalawan Islam” yang luar
biasa jasanya dalam dakwah Islam walaupun belum sempat khatam Al-Qur’an, karena beliau
syahid di medan jihad sebelum Al-Qur’ an selesai diturunkan. Diantara sahabat tersebut adalah
Mush’ab Bin Umair, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Zaid Bin Haritsah, Abdullah Bin Rawahah &
Ja’far Bin Abi Thalib. Allah SWT berfirman :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayatayat-
Nya, maka bertambahlah iman mereka (karenanya)” (QS.8. Al-Anfaal : 2).
“Ruh” yang sudah sampai derajat “Qolbu” senantiasa “Tawajjuh”, menghadap Allah SWT
baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Hamba-hamba Allah yang berqolbu bersih
atau selamatlah yang akan beruntung & mulia di saat menghadap Allah di akhirat kelak. Allah
SWT berfirman :”Pada hari yang tiada gunanya harta benda & anak-anak, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan qolbu yang selamat” (QS.26. As-Syu’araa’ : 88-89).
Ruh
Ketika qolbu sudah disinari cahaya-cahaya “Tawajjuh”, terus-menerus cahaya tawajjuh
itu datang ke dalamnya, kemudian ia merasa tenang menghadap Allah & tuma’ninah di dalam
dzikir kepada-Nya, maka ia dinamakan “Ruh”. Ruh yang telah sempurna sebagai ruh.
Ruh akan senantiasa merindukan saat-saat “Tawajjuh”, yaitu saat-saat menghadap &
mendekat kepada Allah. Ia akan merasakan ketenangan yang tidak terkira di saat dzikir, ibadah
& aktifitas amal-amal sholih lainnya. Di dalam sholat ia sangat menikmati & hanyut dalam khusyu’
saat menggetarkan kalimat “Inni Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaati wal ardho …”
yang artinya “Sesungguhny aku menghadapkan wajahku (beserta seluruh jiwa ragaku) ke Hadirat
Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi …..”. Tawajjuh yang sungguh-sungguh ini disambut oleh
Allah yang kemudian memancarkan ke dalam dirinya cahaya-cahaya “Muwajahah”, yaitu cahaya
menghadap-Nya Allah untuk menerima tawajjuh-nya ruh seorang hamba. Jadi “Ruh” adalah
permulaan tempat bersinarnya cahaya-cahaya “Muwajahah”.
Jika Allah sudah memancarkan cahaya “Muwajahah” ke dalam ruh seorang hamba-Nya,
maka mulailah tersingkap hijab dari dirinya & terbukalah pintu untuk masuk ke Hadirat Allah, Dzat
Yang Paling Dicintai oleh seorang hamba.
Orang yang sudah sampai derajat “Ruh” ini, terkadang mulai muncul dalam
kehidupannya “Khoriqul ‘Adat”, yaitu hal-hal yang diluar kebiasaan kebanyakan orang, baik
yang berupa “Ma’unah” atau “Karomah”. Ma’unah adalah pertolongan Allah yang diberikan
kepada orang-orang mu’min yang taat & istiqomah, sedangkan “Karomah” adalah pertolongan &
penghormatan dari Allah kepada para “Waliyullah”. Waliyullah ialah orang-orang yang sangat
dicintai dan disayangi oleh Allah SWT. Ia dikaruniai oleh Allah kesanggupan sholat, dzikir, baca
Al-Qur,an, puasa & ibadah-ibadah lain lainnya yang luar biasa. Do’anya mustajab sehingga dapat
menjadi jalan pertolongan Allah bagi sesamanya. Kekuatan pendengaran, pandangan & tenaga
jasadnya dapat menjadi luar biasa. Bahkan, ia terkadang diberi karunia oleh Allah SWT dapat
mengetahui sesuatu yang tersembunyi atau belum terjadi.
Rosulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman (dalam Hadits Qudsy):”Tidaklah
seorang hamba taqurrub (mendekat) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada
dengan segala sesuatu yang Aku wajibkan atasnya. Dan terus-menerus hamba-Ku taqorrub
kepadap-Ku dengan amal-amal sunnah sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintai-
Nya, maka Aku menjadi pendengaran-Nya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya
yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul & menjadi kakinya
yang dengannya ia berjalan. Dan sungguh, jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku akan
memberikannya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan
melindunginya” (HR. Buhkhari).
Semoga Allah SWT membersihkan ruh kita dan memberikannya derajat yang tinggi di
sisi-Nya. Wallaahu A’lam Bisshowaab.
Pertanyaan :
AsSalaamu’aikum Wr. Wb.
Ustadz saya ingin bertanya :
1. Mengapa saya kalau mau menjalankan ibadah sunnah terasa malas ?
2. Kenapa rasanya ingin keluar dari tempat bekerja agar bisa ibadah ?
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Orang yang malas ketika akan atau sedang melakukan sesuatu biasanya karena ia belum
memahami manfaat apa yang ia lakukan atau hasil yang akan ia dapatkan. Orang akan
malas belajar jika ia belum tahu bahwa belajar adalah proses menjadi orang yang berilmu,
dan ilmu adalah modal menjadi orang yang sukses. Orang akan malas bekerja jika ia belum
tahu bahwa hasil dari pekerjaannya akan dapat menjadi jalan tercukupinya kebutuhan
hidupnya dan terbangunnya kehormatannya. Oleh karena itu agar semangat dalam ibadah
baik wajib maupun sunnah, kita harus terus memperdalam pemahaman kita terhadap
manfaat dan balasan yang akan Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat
beragama & tekun beribadah. Rosulullah SAW bersabda, “Orang yang Allah kehendaki lebih
baik (nasibnya), maka Ia akan mendalamkan pemahamannya dalam agama”. Selain itu
masukilah lingkungan yang kondusif untuk ibadah dan bersahabatlah dengan orang-orang
shalih yang sudah dekat dengan Allah SWT sebagaimana yang telah dilakukan oleh para
Sahabat Nabi SAW. Juga berdo’a kepada Allah, karena Dia Yang Maha Kuasa memberi
taufiq, hidayah & ‘inayah kepada kita untuk menjadi orang yang kuat, tekun dan istiqomah
dalammibadah.
2. Pekerjaan adalah bagian dari tempat & saat kita beribadah kepada Allah. Jika Allah memberi
kita lapangan pekerjaan atau peluang usaha, maka hakikatnya itu adalah bagian dari masjid
tempat kita bersujud atau sajadah tempat kita beribadah kepada Allah di jam-jam kerja &
aktifitas. Selagi tanpa jalan pekerjaan atau usaha itu kebutuhan hidup kita belum tercukupi,
hati & pikiran risau, serta tamak dengan pemberian orang lain, maka pekerjaan atau usaha
belum boleh di tinggalkan. Meninggalkan pekerjaan atau usaha dalam kondisi seperti ini
adalah termasuk “Syahwat yang tersembunyi” yang merupakan tipu daya syetan. Kita baru
dibolehkan meninggalkan kerja dan usaha dhohiriah jika tanpa itu semua kebutuhan kita
tetap tercukupi, tidak tamak terhadap pemberian orang lain, dan fokus kita di dalam “Ibadah
& Tafaqquh Fiddiin” menentramkan hati & pikiran kita serta “Lebih Bermanfaat bagi Ummat”.
Rosulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
sesama manusia”.
Wallaahu A’lam Bisshowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar