Kunjungi Website kami di http://www.wartafokus.com

Selasa, 06 Juli 2010

Apa Hukumnya Bertawassul?

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin


Jawaban:

Ini adalah soal penting, maka kami harus menjelaskannya agak panjang lebar tentangnya. Tawassul adalah masdar dari kata tawassala yatawassalu atau menjadikan satu wasilah (perantara) untuk mencapai sesuatu yang dituju. Makna asal dari tawasul adalah membuat jalan untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya.

Tawassul dibagi menjadi dua bagian:

Pertama, tawasul yang benar

Yaitu bertawasul dengan menggunakan wasilah yang benar yang dapat menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Tawasul macam ini dibagi menjadi beberapa macam:

Macam pertama, bertawassul dengan nama Allah. Inipun dibagi lagi menjadi dua katagori:

1. tawasul yang bersifat umum seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu dalam doa tentang kesedihan dan kepedihan; yang artinya, "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu yang laki-laki, hamba-Mu yang wanita dan anak hamba-Mu yang wanita, ubun-ubunku (nasibku) ada di tangan-Mu, hukumanmu berjalan kepadaku, dan ketepan-Mu adalah adil bagiku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu; Hendaklah engkau jadikan Al-Qur;an penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghibur kesedihanku dan penghilang kegenduhanku."

Ini adalah bertawassul dengan nama-nama Allah secara umum dengan mengatakan, "Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya…"

2. Dengan cara khusus, yaitu seseorang bertawassul dengan nama khusus untuk keperluan khusus pula, yang sesuai dengan nama itu, seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Bakar radhiyallahu 'anhu ketika beliau meminta doa kepada nabi shallallahu alaihi wa sallam yang dibaca setelah shalatnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca, "Ya Allah, sesungguhnya saya telah berbuat zhalim kepada diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa itu kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan di sisi-Mu dan kasihanilah aku sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (HR Bukhari). (Ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab "Ad-du'a qablas Salam." (834); dan Muslim kitab Adz-Dzikir wad Du'a wat Taubah wal Istighfar, bab "Istihbab Khifgh Ash-Shaut bi Adz-Dzikir, (3704).

Maka Abu Bakar memohon ampunan, rahmat, dan bertawassul kepada Allah dengan dua nama dari nama-nama-Nya yang sesuai dengan permohonannya, yaitu Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).

Tawasul semacam ini masuk dalam katagori firman Allah, "Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raf: 180).

Doa di sini mencakup doa permohonan dan doa ibadah.

Macam kedua, bertawasul kepada Allah dengan sifat-sifat-Nya. Seperti bertawasul dengan nama-nama-Nya, tawasul jenis ini juga dibagi menjadi dua katagori:

1. Bertawasul dengan sifat-sifat-Nya secara umum, seperti membaca; "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan nama-nama-Mu yang baik dan sifat-sifat-Mu yang mulia", kemudian kamu sebutkan keinginanmu.
2. Bertawasul dengan sifat-sifat Allah secara khusus seperti menyebutukan sifat tertentu untuk meminta sesuatu tertentu, seperti yang dijelaskan dalam hadits, "Ya Allah, dengan ilmu ghaib-Mu dan kekuasaan-Mu dalam mencipta, maka hidupkanlah aku jika Engkau ketahui hidup lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika Engkau ketahui mati lebih baik bagiku." (DItakhrij oleh An-Nasai dalam kitab As-Sahwu, bab 62 (1304).

Di sini berarti bertawasul kepada Allah dengan sifat Maha Mengetahui dan Mahakuasa yang keduanya sesuai dengan apa yang diminta.

Ada juga bertawasul dengan sifat fi'liyah seperti, "Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala Ali Ibrahim."

Macam ketiga, bertawasul kepada Allah dengan keimanan kepadaNya dan Rasul-Nya sehingga membaca, "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu maka ampunilah aku dan berilah taufik kepadaku."

Atau berdoa dengan mengatakan, "Ya Allah, dengan keimananku kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu aku memohon ini dan itu…."

Di antara nash yang menjelaskan doa semacam ini adalah firman Allah, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Rabbmu", Maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti." (Ali Imran: 190-193).

Mereka bertawasul kepada Allah dengan keimanan mereka kepada Allah supaya Dia mengampuni dosa-dosa mereka dan mematikan mereka bersama orang-orang yang beriman.

Macam keempat, bertawasul kepada Allah dengan amal shalih. Di antaranya adalah kisah tiga orang yang terjebak dalam goa ketika mereka hendak bermalam di dalamnya. Namun tiba-tiba pintu goa itu tertutup oleh batu besar yang merka tidak bias memindahkannya. Lalu setiap orang dari mereka bertawasul dengan amal shalih yang dikerjakannya. Salah seorang di antara mereka bertawasul kepada Allah dengan kebaktiannya kepada kedua orang tua, kedua bertawasul dengan kecintaannya yang sempurna, dan ketiga bertawasul dengan kebaikannya dalam bekerja. Setiap orang dari mereka membaca, "Ya Allah jika semua itu aku lakukan demi-Mu, maka berilah kami jalan keluar dari masalah yang kami hadapi ini." Maka batu itu pun bergesar. Itulah yang disebut bertawasul dengan amal shalih.

Macam kelima, bertawasul kepada Allah dengan dzikir hal, yakni seseorang bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan keadaannya dan kebutuhan yang diinginkannya. Di antaranya dalah doa Musa alaihis salam yang direkam dalam firman Allah, "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (Al-Qashash: 24).

Musa bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan keadaannya agar Allah menurunkan sesuatu yang lebih baik darinya. Di antara tawasul dengan hal ini adalah doa Zakaria alahis salam yang tertera dalam firman Allah, "Ia berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku." (Maryam: 4).

Cara bertawasul semacam ini, semuanya boleh dilakukan karena itu termasuk factor-faktor yang benar untuk mencapai maksud yang diinginkan.

Macam keenam, bertawasul kepada Allah dengan doa orang shalih yang diharapkan diterima doanya. Para shahabat radhiyallahu anhum meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk mereka dengan doa yang umu dan khusus. Dalam kitab Shahihain diriwayatkan, "Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, 'Sesungguhnya seorang lelaki masuk ke masjid pada hari Jum'at dari satu pintu yang menuju ke arah Darul Qadha (rumah Umar bin Khattab). Pada waktu itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang bediri sambil berkhutbah. Orang itu menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil berdiri, kemudian berkata, "wahai Rasulullah! Segala harta benda telah musnah dan jalan-jalan menjadi terputus (yaitu mereka tidak lagi dapat menggunakan onta karena takut onta mereka mati, bahkan mereka bisa mengurangi binatang ternak mereka disebabkan cuaca pada waktu itu), oleh karena itu berdoalah kepada Allah agar Dia berkenan menurunkan hujan kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu mengangkat kedua tangan dan berdoa, "Ya Allah! Turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah! Turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah! Turunkanlah hujan kepada kami.' Kata Anas, "Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat di langit ada mega atau gumpalan awan. Di antara kami dengan gunung tidak ada satu pun rumah atau perkampungan (yang menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda akan turunnya hujan). Tiba-tiba muncul mega bagaikan perisai di balik gunung. Ketika berada di tengah-tengah langit, mega itu mulai melebar kemudian menurunkan hujan. Tidak demi Allah! Kami tidak melihat matahari sedikitpun'. Pada hari Jumat berikutnya masuk pula seorang lelaki dari pintu yang sama, ketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang berdiri sambil berkhutbah. Orang itu menghadap baginda sambil berdiri, lalu berkata, "Wahai Rasulullah! Banyak harta benda yang binasa dan jalan telah terputus. (Kali ini karena terlampau banyak hujan). Oleh karena itu berdoalah keapda Allah agar Dia berkenan menahan hujan dari kami. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengangkat kedua tangan lantas baginda berdoa, Wahai Tuhanku! Turunkanlah hujan di sekitar kami dan janganlah musnahkan kami. Ya Allah! Engkau turunkanlah ia di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pokok-pokok. Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari." (Diriwayatkan Bukhari).

Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya di mana para shahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar mendoakannya secara khusus, di antaranya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa dalam umatnya terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisabdan tanpa diadzab. Mereka itu orang-orang yang tidak meminta untuk dijampi, tidak berobat dengan besi panas, dan tidak meramal serga bertawakal kepada Allah. Lalu Ukkasyah bin Muhsan berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikanku termasuk dari mereka." Lalu Nabi bersabda, "Kamu termasuk bagian dari mereka." (DIriwayaktan oleh Bukhari dalam itab Ath-Thibb bab "Ma Iktawa au Kawa Ghairahu.." (5705) dan Muslim kitab Al-Iman, bab "Ad-Dalil 'ala Dukhul Thawaf min Al-Muslimun Al-Jannah Bighairi Hisab", (220).

Ini juga tawasul yang diperbolehkan, yaitu meminta kepada seseorang yang diharapkan doanya dikabulkan, agar berdoa keapda Allah untuknya. Hanya saja disamping meminta untuk mendoakan dirinya, sebaiknya dia juga meminta kepadanya agar mendoakan saudaranya sehingga permohonan itu tidak hanya ditujukan untuk dirinya secara pribadi tetapi juga untuk orang lain. Karena jika Anda berdoa untuk orang lain, maka itu termasuk kebaikan kepadanya. Jika manusia berdoa untuk saudaranya, dialam gaib malaikat berkata, 'Amin dan semoga kamujuga mendapatkan seperti yang dia dapatkan." Dengan begitu dia termasuk orang-orang yang baik karena doa itu dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Kedua bertawasul yang tidak benar

Yaitu bertawasul kepada Allah dengan sesuatu yang bukan wasilah dan tidak dijelaskan di dalam syariat bahwa itu adalah wasilah; akrena tawawsul semacam itu termasuk perbuatan sia-sia dan batil yang bertentangan dengan akal dan naql(nash). Di antara tawasul yang tidaka benar ini adalah bertawasul kepada Allah dengan melalui perantara orang yang telah meninggal dunia agar dia mendoakannya. Ini bukan termasuk doa yang disyariatkan tetapi termasuk kebodohan manusia jika dia meminta kepada mayat agar mayat itu berdoa kepada Allah untuknya; karena mayat jika telah meninggal dunia, terputuslah amalnya dan tidak mungkin bagi seorang pun yang bisa mendoakan orang lain setelah kematianya, bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri, tidak bisa mendoakan seseorang setelah beliau meninggal. Maka dari itu tidak seorang pun sahabat yang bertawasul kepada Allah dengan meminta doa dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah kewafatannya.

Pada masa Umar, tatkala manusia terkena paceklik (kemaru panjang) beliau berkata, "Ya Allah, sesungguhnya dulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu lalu Engkau turunkan hujan kepada kami, maka sesungguhnya pada hari ini kami bertawasul kepada-Mu dengan paman kami, maka turunkanlah hujan kepada kami." (DItakhrij oleh Al-Bukhari kibta Al-Istisq' bab "Sual An-Nas Al-Iman Al-Istisqa; idza Qahathu", (1010).) Lalu Abbas radhiyallahu anhu berdiri dan berdoa kepada Allah.

Seandainya meminta doa dengan berwasilah kepada mayit diperbolehkan dan wasilah yang benar, tentu Umar dan shahabat-shahabat lainnya bertawasul dengan Rasulullah, karena doa beliau lebih dikabulkan dan lebih mustajab daripada doa Abbas radhiyallahu 'anhuma. Yang jelas bahwa bertawasul kepada Allah dengan meminta kepada mayit adalah tawasul yang batil dan tidak boleh.

Di antara tawasul yang tidak benar lainnya adalah bertawasul dengan kewibawaan Nabi. Kewibawaan beliau tidak bermanfaat bagi orang yang berdoa dengannya, karena tawasul dengan Nabi tidak memberikan manfaat kecuali tatkala beliau masih hidup.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan sesuatu sebagai wasilah yang benar dan menghasilkan, lalu apa faidahnya Anda bertawasul dengan kewibawaan Rasulullah, apakah karena beliau memiliki kewibawaan di sisi Allah? Jika Anda ingin bertawasul kepada Allah dengan cara yang benar maka katakanlah, "Denagn keimananku kepada –Mu dan Rasul-Mu atau dengan kecintaanku kepada Rasul-Mu, dan sebagainya", maka itulah wasilah yang benar dan bermanfaat.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 185-193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar