Kunjungi Website kami di http://www.wartafokus.com

Rabu, 29 September 2010

Saudaraku, Kembalilah Ke Jalan Kebaikan …


Saudaraku ..

Tulisan ini kutujukan kepadamu, ya .. kepadamu yang mengharapkan Ridho Allah dan kenikmatan yang kekal di sisiNya, serta takut kepada siksa dan azab yang Allah Ta’ala siapkan untuk orang-orang yang bermaksiat dan kafir.

Kepadamu saudaraku, yang pernah merasakan manisnya keimanan dan nikmatnya berjalan diatas jalan yang lurus serta indahnya mendekatkan diri kepada Allah.

Kepadamu saudaraku, yang dulu bersemangat dan berpacu menuntut ilmu serta mengajak kepada kebaikan.

Kepadamu saudaraku yang dulu sering kulihat berzikir, membaca dan menghapalkan Al Qur’an.

Apa yang terjadi pada dirimu? Kenapa engkau kini mulai menjauh dari teman-temanmu yang rajin sholat berjama’ah, cinta kepada ilmu agama, gemar mempelajari Al Qur’an dan Hadits serta membaca buku-buku yang bermanfaat?

Kenapa aku melihat semangatmu memudar, penampilanmu juga berobah ..tidak lagi seperti dulu yang berusaha mengikuti sunnah-sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam?

ingatkah engkau, ketika itu engkau berhenti dari tempatmu bekerja, kenapa?!

Ketika itu engkau mengatakan, karena tidak bisa sholat berjama’ah ke mesjid!

Karena engkau takut fitnah syahwat yang slalu menggoda!

Karena engkau ingin meninggalkan nyanyian dan menggantikannya dengan mendengarkan Al Qur’an!

Karena engkau ingin menjaga ‘iffah dirimu!

Karena engkau ingin menjaga Dinmu!!

 

Saudaraku .. kenapa aku lihat syahwat mulai mengalahkanmu, hasrat pun membelenggumu..wajahmu tidak pernah lagi kulihat di majelis-majelis ilmu!

Apakah engkau telah menyimpulkan bahwa iltizam dan keistiqomahanmu serta keta’atanmu kepada Robbmu selama ini sebuah kesalahan, lalu engkau memilih jalan lain; jalan yang menyimpang, maksiat dan kelalaian – agar engkau bisa sampai ke surga Firdaus?!

Ataukah engkau mengira jalan yang telah engkau tempuh selama ini terasa terlalu panjang dan berat, lalu engkau tidak sabar dan memilih jalan orang-orang lali dan lengah yang diperbudak hawa nafsu mereka, yang keinginan mereka hanyalah sebatas diri mereka sendiri, tidak peduli kepada Dinullah dan Dakwah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

Ataukah engkau telah melupakan kematian dan sakarat-nya …

Melupakan kuburan dan kegelapannya …

Hari kiamat dan kedahsyatannya …

Neraka dan keras azabnya …

 

Semoga Allah melindungimu dari itu semua

Dan semoga Allah tidak menjadikanmu termasuk orang-orang yang dikatakanNya,

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.” (Al A’rof : 175)

Kuharap dadamu lapang dan maafkan aku karena kerasnya kata-kataku kepadamu. Akan tetapi kecintaanku kepadamu yang kusimpan di dalam dadaku, dan kekhawatiran su-ul khotimah atas dirimu .. hal itulah yang telah membakar hatiku. Setiap kali aku melihat kondisimu yang membuat gembira musuhmu (Syetan beserta pengikutnya) serta membuat sedih teman-teman dan orang-orang yang mencintaimu.

 

Saudaraku, akankah engkau kembali sebelum kematian mendatangi?. Kapankah engkau kembali kepada taman keta’atan dan telaga taubat serta istiqomah yang penuh rahmah dan berkah dari Allah??

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”.(Ali Imron : 135)

Tumbuhkanlah harapanmu, bangunlah asamu, sesungguhnya engkau memiliki Robb yang maha luas ampunanNya, membentangkan TanganNya siang dan malam untuk mengampuni orang-orang yang berdosa.

Mohonlah hidayah kepada Allah Ta’ala dengan tulus dari hatimu. Lihatlah Nabimu yang engkau cintai shollallahu ‘alaihi wa sallama meminta hidayah kepada Robbnya, beliau berdo’a, 

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kekayaan”. (HR. Muslim, At-Tirmidzi dan Al Baihaqy dari Ibnu Mas’ud, dan sanadnya shohih, lihat, Shohih Al Jami’ no. 1275)

Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama mengajarkan itu sebagaimana beliau mengajarkan cucunya Al Hasan bin Ali rodhiyallahu ‘anhuma agar di dalam qunut mengucapkan,

“Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang engkau tunjuki”. (HR. Abu Dawud, An Nasa-I dan lain-lainnya, dari Abul Hawro’, dan sanadnya shohih, lihat : Misykatul Mashobiih no. 1273)

Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama juga berlindung kepada Allah dari kesesatan setelah petunjuk,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaanMu dari Engkau sesatkan, tidak ada Ilah yang diibadati dengan hak melainkan Engkau”. (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Abbas)

Dalam do’a safar beliau mengucapkan,

“Dan aku berlindung kepadaMu dari Al Haur setelah Al Kaur ”. (HR. Muslim)

Maksud Al Haur setelah Al Kaur yaitu; kerusakan setelah kebaikan, kesesatan setelah petunjuk.

Akuilah dosamu .. tangisilah kesalahan dan kelalaianmu. Mintalah kepada Allah, agar Ia tidak menghinakanmu di hari pembalasan, serta agar Ia memutihkan wajahmu ketika dihitamkan wajah-wajah pelaku maksiat dan orang-orang kafir.

Mulailah lembaran baru yang putih bersama Allah Ta’ala dengan keta’atan dan taubat nashuhah.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi : 28)

Palingkanlah wajahmu dari teman-teman yang tidak baik, dari orang-orang yang tidak peduli apakah engkau nanti di sorga atau di neraka. Bahkan lebih dari itu, kelak mereka di hari kiamat meminta kepada Allah Ta’ala supaya Allah menambahkan azab yang berlipat untuk teman-teman mereka.

“mereka berkata (lagi): “Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan Kami ke dalam azab ini Maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka”. (Shod : 61)

Bersihkan dari dirimu debu-debu dosa dan kelengahan. Bergabunglah dengan kafilah yang berjalan menuju Allah Ta’ala.

Kembalilah saudaraku ..kepada Allah Ta’ala, agar engkau kembali menjadi telaga kebaikan yang selalu mengalirkan manfaat untuk umatmu.

Saudaraku, berikut ini sebagian kiat dan asbab yang akan membantumu untuk tetap teguh dan istiqomah dengan izin Allah Ta’ala :

 1. Do’a yang tulus, berdo’alah,

“Hai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas din-Mu”.

2. Carilah teman yang baik dan sholeh, yang akan membantumu untuk ta’at kepada Allah.

3. Jauhkan dirimu dari teman-teman yang tidak baik.

4. Jagalah Kitabullah, dengan membaca, menghapal dan mempelajari makna-makna serta

hukum-hukumnya, ketahuilah Al Qur’an adalah obat hati yang sakit.

5. Jagalah ibadah-ibadah fardhu dan ibadah-ibadah nafilah yang mengiringinya.

6. Menuntut ilmu sya’ri dan menghadiri majelis-majelis ilmu.

7. Takut kepada dosa dan akibatnya, karena dosa adalah penyebab su-ul khotimah.

8. Membaca buku-buku yang bermanfa’at, mengikuti daurah-daurah ilmiyah dan dakwiyah.

9. Ghoddul Bashor (menahan pandangan dari penyebab maksiat), percayalah dengan ghoddul bashor hatimu akan lebih tenang dan terasa manisnya keimanan.

10. Ingatlah permusuhan syetan terhadapmu dalam setiap detik. Dan bahwasanya ia senantiasa mengintai kelengahanmu serta menggunakannya untuk menyeretmu menjadi temannya di neraka kelak.

 

Terakhir saudaraku, kalimat-kalimat ini mungkin keras dan tajam, akan tetapi ia memancar dari cinta yang tulus, hatiku lebih dahulu mengatakannya sebelum penaku menorehkannya, karena kasihan kepadamu saudaraku tercinta. Tidak ada yang kuinginkan melainkan kebaikan untukmu. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmatNya untuk kita …

Dan sampai bertemu di atas jalan kebaikan dengan izin Allah Ta’ala, semoga Allah menjagamu saudaraku.


(disampaikan oleh Abu Zubair Hawaary)

Selasa, 28 September 2010

Melihat Kepribadian Manusia dari Status Facebook





1. Manusia Super Update
Kapanpun dan di manapun selalu update status. Statusnya tidak terlalu panjang tapi terlihat bikin risih, karena hal-hal yang tidak terlalu penting juga dipublikasikan.
Contoh : "Lagi makan di restoran A..", "Dalam perjalanan menuju neraka..", "Saatnya baca koran..", dan sebagainya.

2. Manusia Melankolis
Biasanya selalu curhat di status. Entah karena ingin banyak diberi komentar dari teman-temannya atau hanya sekedar menuangkan unek-uneknya ke facebook. Biasanya orang tipe ini menceritakan kisahnya dan terkadang menanyakan solusi yang terbaik kepada yang lain.
Contoh : "Kamu sakitin aku..lebih baik aku cari yang lain..", "Cuma kamu yang terbaik buat aku..terima kasih kamu sudah sayang ama aku selama ini..".

3. Manusia Tukang Ngeluh

Pagi, siang, malem, semuanya selalu ada aja yang dikeluhkan.
Contoh : " Jakarta maceeet..!! Panas pula..", "Aaaargh ujan, padahal baru nyuci mobil..sialan. .!!", "Males ngapa2in.. cape hati gara2 si do' i..", dsb.

4. Manusia Sombong
Mungkin beberapa dari mereka ga berniat menyombongkan diri, tapi terkadang orang yang melihatnya, yang notabene tidak bisa seberuntung dia, merasa kalo statusnya itu kelewat sombong, dan malah bikin sebel.
Contoh : "Otw ke Paris ..!!", "BMW ku sayang, saatnya kamu mandi..aku mandiin ya sayang..", "Duh, murah-murah banget belanja di Singapur, bow,"

5. Manusia Puitis

Dari judulnya udah jelas. Status nya selalu diisi dengan kata-kata mutiara, tapi ga jelas apa maksudnya. Bikin kita terharu? Bikin kita sadar atas pesan tersembunyinya? atau cuma sekedar memancing komentar? Sampai saat ini, tipe orang seperti ini masih dipertanyakan.
Contoh : "Kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu. Dan hanya bisa terbang bila saling berpelukan", "Mencintai dan dicintai adalah seperti merasakan sinar matahari dari kedua sisi", "Jika kau hidup sampai seratus tahun, aku ingin hidup seratus tahun kurang sehari, agar aku tidak pernah hidup tanpamu".

6. Manusia in English

Tipe manusianya bisa seperti apa saja, apakah melankolis, puitis, sombong dan sebagainya. Tapi dia berusaha lebih keren dengan mengatakannya dalam bahasa Inggwis gicyu Low..
Contoh : "Tie and Chair..", "I can tooth (kentut), you Pink sun.." dsb..

7. Manusia Lebay
Updatenya selalu bertema 'gaul' dengan menggunakan bahasa dewa.. ejaan yang dilebaykan..
Contoh.." met moulnin all.. pagiiieh yg cewrah... xixiixi" << lol~

8. Manusia Terobsesi Mengharap tapi ga kesampaian.. pengen jd artis ga dapat-dapat. Contoh : "duwh... sesi pemotretan lagi! cape..."

9. Manusia Sok Tau Sotoy tenarnya. Padahal dia sendiri tidak tahu apa yang ditulisnya. Contoh : "Pemerintah selalu memanjakan rakyatnya.. bla..bla...bla,"

10. Bioskop Mania Update film yang abis ditonton dan kasih comment.. Contoh : "ICE AGE 3..Recomended! !", "Transformers 2 mantab euy.."

11. Manusia pedagang Contoh: "jual sepatu bla bla bla"

12. Manusia penyuluh masyarakat Contoh: "jangan lupa dateng ke TPS, 5 menit utk 5 tahun bla..bla"

13. Manusia Alay Ada berbagai macam versi, dari tulisannya yang aneh, atau tulisannya biasa aja, hanya saja kosakata nya ga lazim seperti bahasa alien. Contoh:
Alay 1 : "DucH Gw4 5aYan9 b6t s4ma Lo..7aNgaN tin69aL!n akYu ya B3!bh..!!"
Alay 2 : "km mugh kog gag pernach ngabwarin aq lagee seech? kmuw maseeh saiangs sama aq gag seech sebenernywa? "
Alay 3 : "Ouh mY 9oD..!! kYknY4w c gW k3ReNz 48ee5h d3ch..!!"(Khusus buat tipe ini, ga usah di baca juga gpp..saya pribadi juga mikir dulu buat nulis ini, walaupun jadinya kurang mirip sama yg aslinya..)

14. Tipe Hidden Message Tipe ini biasanya tidak to the point, tapi tentunya punya niat biar orang yg dituju membaca nya. (bagus kalo baca..kalo ngga? kelamaan nunggu) padahal kan bisa langsung aja sms ya.. Contoh : "For you my M***, I can' t live without you..you are my bla bla bla..","Heh, cewe bajingan..ngapain lo deket2in co gw?! kyk ga laku aja lo.." (padahal ce tersebut tidak ada dalam jaringannya. . mana bisa baca...)

15. Tipe Misterius Tipe yang biasanya bikin banyak orang bertanya tanya atas apa maksud dari status orang tersebut..Biasanya dalam suatu kalimat membutuhkan Subjek + Predikat + Objek + Keterangan. Tapi orang tipe ini mungkin hanya mengambil beberapa atau malah hanya 1 saja..Dan pastinya mengundang kontroversi. Contoh : "Sudahlah.." , "Telah berakhir.." (apanya??),"Termenung.. ." (so what gitu, loh)

16. Tipe Gaptek (perlu beli buku panduan fb) Tipe ini biasanya paling bikin orang risih. Mungkin maksudnya nulis wall buat temen tp ini malah ditulis di kolom status Contoh : hai apa kabar?, kamu lagi sama siapa?, aku kuliah jurusan akuntansi, kamu kuliah dmn? (ini nyata lho. gw bener2 punya temen kyk gini. Ditulisnya huruf naik turun pula)

17. Tipe motivator Tipe seperti ini biasanya statusnya bisa menjadi pemotivasi user fb yg lain Contoh: Hnya 0rg mLas sJa yg slLu mNgaLami k'gagLan dlm hdupx.krna bgi org yg g!at,sUatu k'gagLan adLah sbuah kberhasLan yg trtUnda. (ini gw copas dari status friends gw. cantik padahal. tapi nulisnya begini jadi gmn gitu )

18. Tipe music holic Orang seperti ini biasanya adalah orang yang menuangkan perasaannya ke dalam musik Contoh: Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yg terbaik----D'massiv: jgn menyerah (lagu yg 1 ini sempet booming bgt d'friends gw)

19. Tipe jorok Hmm ...orang kayak gini gw paling gak suka. Jadi bikin bener2 ilfeel Contoh: abis berak... (bayangin gan. abis berak aja langsung di publikasiin. penting bgt gak sih?)

20. Tipe religius Nah tipe kayak gini nih paling jarang (menurut pengamatan gw). Kecuali kalo lg ada momen2 seperti ujian akhir, ujian masuk PTN, atau sebelum pengumuman kelulusan Contoh: Ya Allah tolong mudahkan hamba & teman2 hamba mengerjakan soal2 ujian yg akan kami hadapi besok (pas ada ujian). Ya Allah luluskan kami 1 angkatan siswa siswa SMAN ** (sebelum pengumuman kelulusan)

21. Tipe pasrah Orang tipe seperti ini biasanya kalo lagi kena musibah. Contoh: aduh ketauan nyontek. Udah ah liat nanti aja

22. Tipe gila bola Tipe yang 1 ini biasanya selalu memposting status sesuai berita bola yang lg hangat / sekedar memberi dukungan kpd tim kesayangannya. Status seperti ini biasanya sering mendapat like (gw menyebutnya ijo2 ala fb) dari user lain yg juga penggila bola. Contoh: Xabi Alonso telah resmi dijual ke real madrid (berita). Hala Madrid (kasih dukungan)

23. Tipe Gak Jelas selalu nulis status yang gak jelas Contoh: Eng..ing..eng..., Treng.. teng..teng..teng..., Bla..Bla..Bla DLL

24. Tipe meratapi nasib kalo tipe ini bawaannya sedih mulu Contoh: katanya sayang? kok malah gini? heeem

25. Tipe penyakitan nah tipe yg ini bisa dibilang tipe musiman. Apa lagi kalo musim sakit. Wah pasti langsung banyak yg update status ttg penyakitnya. Contoh: Aduh pilek nih, ingus meler terus lg. Aduh migran gw kambuh. Yaaa gara2 demam berdarah gw harus di opname deh

26. Tipe kedaerahan Orang-orang tipe ini biasanya orang yg masih berpegang teguh pada bahasa daerahnya Orang seperti ini biasanya memposting status dengan bahasa daerahnya yg orang lain blm tentu tau. Contoh: Tmend esdhe.ko brubbah kbeh . . .tmbh aneh . . . .gosibp ezd lauazt sek usum ae ! ! Hehehehe (orang jawa)

Anda termasuk tipe yang mana???

http://humorterbaik.blogspot.com/2009/08/melihat-kepribadian-manusia-dari-status.html

Hubungan Harmonis Suami-Istri Terbentuk Karena Terpeliharanya Hak dan Kewajiban Syariat

“Para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) 

Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa’: 19)

Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi no. 3895, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Bagaimanakah gambaran pergaulan suami dengan istrinya dalam sebuah rumah tangga?

 Berikut ini penjelasannya:


1. Masing-masing pihak bergaul dengan akhlak yang baik kepada pasangannya, berlaku lembut, dan sabar dengan kekurangannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:

“Mintalah wasiat kebaikan dalam perkara istri-istri kalian karena sungguh mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.” (HR. Ahmad 5/72, At-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Majah no. 1851, hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)

2. Sepantasnya seorang suami tetap menahan istrinya dalam pernikahan, tidak bermudah-mudah dalam mentalak (menceraikan), walaupun ada sesuatu yang tidak disukainya dari si istri.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut.  Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’: 19)

Ketika memaknai ayat yang mulia di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, bisa jadi si suami diberi rezeki berupa anak dari istri tersebut, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan kebaikan yang banyak pada diri si anak. (Tafsir Ibni Katsir, 2/173)

Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu akhlak dari si mukminah maka (bisa jadi) ia ridha darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

3.Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itulah hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menyetubuhi istri) di waktu haid dan janganlah kalian mendekati (menyetubuhi) mereka sampai mereka suci (mandi bersih dari haid). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)

4. Suami boleh memaksa istrinya menghilangkan hal-hal yang disukainya yang ada pada si istri.

Termasuk dalam hal ini menghilangkan sesuatu yang memang jiwa tidak menyukainya, seperti rambut ketiak dan kuku yang panjang. Suami juga berhak melarang istrinya memakan makanan yang memiliki bau tidak sedap, karena hal itu akan membuat si suami “lari” darinya.

Suami dapat memaksa istrinya untuk membasuh najis yang ada pada tubuh si istri dan memerintahnya menunaikan kewajiban agama seperti shalat lima waktu. Bila si istri enggan, suami harus memaksanya dan memberikan hukuman pendidikan kepadanya. Suami juga harus memaksa istrinya meninggalkan perkara-perkara yang haram. Kenapa semua ini harus dilakukan suami? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:  

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian kalian (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa’: 34)

”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah/peliharalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah kalian dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memuji Nabi-Nya, Ismail as:

“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Ia memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat.” (Maryam: 54-55)

Seorang suami adalah penanggung jawab terhadap istrinya dan ia adalah pemberi arahan kepada istrinya. Kelak di hari kiamat, ia akan ditanya tentang tanggung jawab ini. Suami harus mendidik istrinya terlebih jika mengingat istri merupakan pendidik anak-anaknya. Tentunya bila rusak akhlaknya dan cacat agamanya niscaya akan merusak anak-anaknya.

5. Termasuk pergaulan yang baik kepada istri adalah suami memberikan nafkah batin kepadanya paling tidak empat bulan sekali.  

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi tenggang waktu empat bulan kepada suami yang meng-ilaa’ (1) istrinya, setelahnya ia harus kembali menggauli istrinya dengan membayar kaffarah sumpah atau mentalaknya (2). Waktu empat bulan ini pun diqiyaskan untuk selain kasus ilaa’. Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berpandangan kewajiban memberi nafkah batin kepada istri ini tidak ada penetapan waktu berapa lamanya, namun disesuaikan kadar yang dirasa cukup oleh istri selama tidak memadharatkan suami atau menyibukkannya dari mencari penghidupan.

6. Bila suami safar (bepergian) meninggalkan istrinya lebih dari setengah tahun sedangkan si istri memintanya pulang, maka suami harus pulang menemui istrinya.

Hal ini terkecuali bila dalam safar haji yang wajib atau peperangan yang wajib, ataupun suami tidak memiliki kemampuan untuk pulang.

7. Haram bagi masing-masing pihak untuk menceritakan kepada orang lain tentang hubungan intim yang berlangsung di antara mereka.

Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan:

“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan istrinya berhubungan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 1437)

Siapa yang berbuat demikian, ia serupa dengan setan laki dan setan perempuan yang berhubungan di jalanan dan ditonton oleh orang-orang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ bintu Yazid radhiyallahu ‘anha, “Aku sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara para lelaki dan wanita tengah duduk-duduk. Beliau pun bersabda:

“Mungkin ada seorang lelaki menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya dan mungkin ada seorang wanita mengabarkan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” Orang-orang yang hadir terdiam. Maka aku menjawab, “Iya, demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun melakukannya.” Rasulullah memberi bimbingan, “Jangan kalian lakukan hal tersebut, karena permisalannya tidak lain seperti setan jantan bertemu setan betina di satu jalan lalu ia menggaulinya sementara orang-orang menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, dan dalam sanadnya ada Syahr ibnu Hausyab dan tentang dirinya ada pembicaraan. Namun hadits ini terangkat menjadi hasan dengan syawahid [penguat]nya)

8. Suami berhak melarang istrinya keluar rumahnya tanpa ada kebutuhan darurat.

Ia tidak boleh membiarkan istrinya pergi sesukanya. Haram pula bagi istri keluar rumah tanpa izin suaminya.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau menegaskan, “Bila sampai istri keluar dari rumah suaminya tanpa izin si suami berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya hingga ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

9. Tidak sepantasnya suami melarang mertuanya untuk mengunjungi istrinya (putri mereka) di rumah sang suami, kecuali bila ia mengkhawatirkan keduanya akan merusak hubungannya dengan istrinya atau meracuni pikiran istrinya.

10.Suami berhak melarang istrinya bekerja, karena suamilah yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istrinya.

Disamping itu, bila si istri bekerja akan melalaikannya dari menunaikan sebagian hak suaminya, menelantarkan pendidikan anak-anaknya, memperhadapkan si istri kepada penyimpangan akhlak, khususnya di zaman ini di mana rasa malu semakin sedikit dan penyeru kepada kejelekan semakin banyak. Banyaklah didapati para wanita bercampur baur dengan lelaki di kantor-kantor dan lapangan pekerjaan yang lain. Tidak jarang pula terjadi khalwat (bersepi-sepi/berduaan) yang diharamkan.

11.Istri tidak boleh menaati kedua orangtuanya bila keduanya memintanya berpisah dengan suaminya.

Taat kepada suami hendaknya lebih dikedepankan, karena suami ibaratnya surga dan neraka bagi seorang istri.  Bahkan bila seorang istri diminta datang mengunjungi kedua orangtuanya sementara suaminya tidak ridha (tidak memberi izin), maka mentaati suami adalah lebih utama.

Bibi Hushain bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

“Apakah engkau punya suami?” Ia menjawab, “Iya.”  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali dalam perkara yang memang aku tidak mampu.” Rasulullah memberi nasihat, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341, An-Nasa’i no. 8962, Al-Hakim 2/206, ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati Adz-Dzahabi rahimahullahu. Sanadnya memang shahih, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, lihat Adabuz Zifaf, hal. 214 dan Ash-Shahihah no. 2612)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 


Catatan Kaki :
(1) Suami bersumpah tidak ingin menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan.
(2)Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
“Kepada para suami yang meng-ilaa’ istri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika setelah itu mereka kembali (menggauli istri mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 226-227)
(Sumber  :  Nukilan dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Kitabun Nikah, bab Fi ‘Isyratun Nisa’, 2/307-312, karya Fadhilatusy,  Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah,  dengan beberapa perubahan dan tambahan, oleh penulis  Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, dan sedikit penyederhanaan bahasa dari pengelola blog Kebun Hidayah)

Teladan Istri Yang Berusaha Memahami Suami


Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami hingga ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami hingga ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah.

Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah.”

Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”

Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’

Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’

Istriku berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’
Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung).

Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’

Aku katakan: ‘Bani Fulan yang sebelah situ adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan yang sebelah sana adalah kaum yang jelek.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai.

Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’”

Aku jawab: “Ia sebaik-baik istri.”

Ibu mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.”

Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”

Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku (penulis kisah, red) tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.


http://kebunhidayah.wordpress.com/category/14-muslimah-teladan/



(Dikutip sebagian dari buku berjudul “Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan Keluarga Bahagia tanpa Problema”, karya Mazin bin Abdul Karim Al Farihhal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy dari http://akhwat.web.id) Kisah dari Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29

Minggu, 26 September 2010

Musyawarah dengan Istri



Dalam Islam, suami adalah pemimpin. Segala perintah atau keputusannya mesti ditaati selama tidak mengandung kemaksiatan. Namun demikian, Islam juga mengajarkan para suami untuk berembug atau bermusyawarah dengan sang istri dalam setiap perkara rumah tangganya.

Sudah selayaknya kehidupan rumah tangga menjadi wadah kerja sama antara seorang suami dan istrinya. Keduanya bantu membantu dan bahu membahu mengayuh bahteranya di gelombang samudra kehidupan agar sampai ke tepian yang diimpikan. Keduanya saling berbagi. Suka dirasakan berdua. Duka dibagi bersama. Tak salah bila seorang suami bertukar pikiran dengan istrinya menghadapi problema yang ada atau sekadar mengeluhkan beban masalah yang dipikulnya.
Kesulitan yang dihadapinya mungkin bisa terjawab dengan masukan dari sang istri. Apatah lagi bila istrinya seorang yang cerdas dan berpikir lurus, ataupun istrinya bisa memberikan kata-kata menghibur yang dapat menenangkan jiwanya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

“Dan perkara mereka dimusyawarahkan di antara mereka.” (Asy-Syura: 38)
Yaitu mereka memusyawarahkan permasalahan di antara mereka, tidak bersikap terburu-buru/tergesa-gesa, dan mereka tidak menuruti pendapat mereka sendiri. Adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak musyawarah para sahabatnya dalam urusan-urusan beliau dan Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan hal ini kepada beliau dalam firman-Nya:

وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

“Dan ajaklah mereka musyawarah dalam urusan-urusan yang ada.” (Fathul Qadir, 4/642)
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai junjungan anak Adam, kekasih pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah menyepelekan keberadaan seorang istri di sisinya. Bila memang diperlukan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajak musyawarah istrinya, menceritakan permasalahan yang beliau hadapi serta memerhatikan saran istrinya.
Saat Jibril ‘alaihissalam menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di gua Hira dengan membawa wahyu yang pertama:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan Nama Rabbmu yang telah menciptakan.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dengan hati yang bergetar untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.

زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي

“Selimuti aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga hilang rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang beliau rasakan:

لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ

“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah radhiyallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang mulia:

كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq1.”
Khadijah radhiyallahu ‘anha kemudian mengajak suaminya menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil ‘Uzza, anak pamannya, seorang tua lagi buta yang beragama Nasrani2 dan biasa menulis Injil dengan bahasa Ibrani ataupun bahasa Arab. Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh anak saudaramu.”
“Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berkisah tentang apa yang dilihatnya dan pertemuannya dengan seseorang yang merangkulnya dengan kuat di gua Hira. Kata Waraqah, “Itu Namus3 yang pernah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan untuk membawa wahyu kepada Musa ‘alaihissalam. Duhai! Andai kiranya saat itu aku masih muda! Andai kiranya ketika itu aku masih hidup, tatkala kaummu mengusirmu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut, “Apakah mereka akan mengusirku?” “Iya”, tegas Waraqah, “Tidak ada seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa kecuali ia akan dimusuhi. Kalau aku mendapati hari-harimu itu tentu aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (HR. Al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 401)
Lihatlah! Bagaimana Khadijah radhiyallahu ‘anha memberikan dorongan dan semangat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberikan kata-kata menghibur dengan mengingatkan beliau dengan sifat-sifat terpuji yang Allah radhiyallahu ‘anha anugerahkan kepada beliau. Dan kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima saran istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Waraqah bin Naufal, seorang yang punya pengetahuan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan bahwa dalam kisah di atas kita dapatkan beberapa faedah:
1. Disenanginya menghibur orang yang memiliki beban masalah dengan menyebutkan perkara-perkara yang dapat meringankannya.
2. Disenangi bagi orang yang punya masalah/beban untuk menyampaikan apa yang dialaminya kepada seseorang yang dipercaya dapat memberikan nasihat dan lurus akal/pandangannya. (Fathul Bari, 1/34)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada bukti yang paling besar dan argumen yang paling puncak tentang kesempurnaan Khadijah radhiyallahu ‘anha, luasnya pikirannya, kuatnya jiwanya, kokohnya hatinya, dan besarnya pemahamannya.” (Al Minhaj, 2/377)
Kita berpindah kepada contoh berikutnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bermukim di Madinah. Saat itu di tahun keenam hijriyah, dalam bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berencana melaksanakan umrah di Baitullah. Mereka berangkat dari Madinah menuju Makkah yang masih dikuasai oleh orang-orang musyrikin dalam keadaan berihram. Namun orang-orang musyrikin ini menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk masuk ke Makkah. Lalu terjalinlah perjanjian antara beliau dan orang-orang musyrikin bahwa beliau baru diperkenankan masuk ke Makkah untuk berumrah di tahun mendatang. Karena batal berumrah beliau pun hendak bertahallul dari ihramnya dan memerintahkan kepada para sahabatnya:

قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْا

“Bangkitlah kalian lalu sembelihlah hewan kalian, lalu cukurlah rambut kalian.”
Namun apa yang terjadi? Demi Allah tak satupun dari para sahabat yang bangkit memenuhi perintah beliau hingga beliau mengucapkan hingga tiga kali. Ketika tidak ada satupun yang bangkit menjalankan perintah beliau, beliau pun masuk ke tenda istrinya, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Beliau keluhkan pada sang istri apa yang beliau dapatkan dari sikap para sahabatnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang itu? Aku perintahkan mereka dengan satu perkara namun mereka tidak melakukannya.”
Istri yang shalihah ini pun berkata:

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَتُحِبُّ ذلِكَ؟ اُخْرُجْ، ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُو حَالِقَكَ فَيحْلِقَكَ

“Wahai Nabiullah! Apakah engkau ingin mereka melakukan apa yang engkau perintahkan? Keluarlah, lalu jangan engkau mengajak bicara seorang pun dari mereka hingga engkau menyembelih sembelihanmu dan engkau memanggil tukang cukurmu lalu ia mencukur rambutmu.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjalankan saran istrinya yang memiliki kecerdasan dan pendapat yang bagus ini. Beliau keluar dari tenda, tanpa mengajak bicara seorang pun beliau menyembelih hewan sembelihannya dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambut beliau. Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka pun bersegera bangkit. Mereka menyembelih hewan-hewan mereka dan sebagian mereka mencukur rambut temannya hingga hampir-hampir sebagian mereka membunuh sebagian yang lain disebabkan kegundahan dan kesedihan mereka (HR. Al-Bukhari no. 2731, 2372). Dengan saran Ummu Salamah, terselesaikanlah masalah yang ada.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan:
- keutamaan musyawarah
- bolehnya bermusyawarah dengan wanita yang memiliki keutamaan
- kelebihan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, betapa kuat akalnya. Sehingga Imam Al-Haramain berkata, “Kami tidak mengetahui ada seorang wanita yang tepat/benar dalam memberikan pendapatnya ketika bermusyawarah kecuali Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.” (Fathul Bari, 5/426)
Dua kisah di atas, cukuplah menjadi bukti bahwa seorang istri yang shalihah bisa diajak musyawarah, dimintai pendapatnya dalam urusan suaminya. Sampaipun dalam perkara umat yang diurusi oleh suaminya bila suaminya seorang da’i. Saran-sarannya pun dapat diterima dan dijalankan dalam urusan yang penting. Semua ini juga menunjukkan penghargaan Islam kepada wanita. Walhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ini …
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Catatan kaki:
1 Para ulama berkata, “Makna dari ucapan Khadijah radhiyallahu ‘anha ini adalah engkau tidak akan ditimpa perkara yang jelek /tidak disukai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan pada dirimu akhlak yang mulia dan perangai yang utama.” (Al Minhaj, 2/377)
2 Waraqah dan temannya meninggalkan negerinya menuju Syam karena benci kepada peribadatan berhala. Di sana ia bertanya tentang agama yang kemudian ia tertarik dengan agama Nasrani hingga ia memeluknya. Ia sempat bertemu dengan beberapa pendeta yang berada di atas agama Isa ‘alaihissalam yang belum diubah (masih asli), karena itu ia bisa memberitakan tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kabar gembira tentang diutusnya beliau serta berita-berita lain yang telah dirusak oleh orang-orang yang mengubah-ubah agama Nabi Isa ‘alaihissalam. (Fathul Bari, 1/34)
3 Bahasa Ibrani, artinya pemegang rahasia. Ini merupakan sebutan untuk Jibril ‘alaihissalam. (Al-Minhaj, 2/378)

Kekufuran Istri Berbuah Petaka



Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)
Apatah lagi bila pendamping hidup itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.
Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.” Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ

“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.
Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ

“Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).
Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya:

أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)
Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204.
Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372)
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein

Antara Berbakti kepada Orang Tua dan Taat kepada Suami



Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:

لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ

“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ

“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ

“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ

“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ

Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Jilbab, Penghormatan Islam Untuk Wanita



Wanita dalam islam sangat dihargai dan dihormati, sangat berbeda dari anggapan yang tidak benar dan menyimpang yang tersebar luas diantara para non muslim.

Kitab suci Al-Qur'an telah menggarisbawahi fakta, pria dan wanita memiliki posisi yang sama dimata Allah. Hal yang membedakan adalah keimanan dan amal ibadahnya.

Hukum islam telah menjamin hak wanita lebih dari 1.400 tahun yang lalu, terutama ketika wanita dalam masyarakat barat tengah berjuang untuk memperoleh haknya.

Contohnya, islam memandang wanita sebagai seseorang secara utuh yang secara spiritual sama dengan laki-laki. Selain itu, berdasarkan Hukum Islam, wanita juga memiliki hak untuk memiliki lahan, menjalankan bisnis dan memperoleh upah yang sesuai dengan pekerjaannya.

Dalam islam, wanita memiliki kontrol terhadap kekayannya. Wanita juga tidak boleh menikah, tanpa keinginannya.

Kemudian, wanita dalam islam juga memiliki hak waris terhadap properti dan hak untuk memohon cerai dari suaminya jika diperlakukan tidak sesuai dan tidak dapat lagi hidup bersama dalam pernikahan.

Islam juga tidak melihat wanita dengan pandangan merendahkan atau sebagai godaan yang menyesatkan. Juga tidak menyalahkan wanita sebagai penyebab dosa.

Wanita dalam islam bisa melakukan semua ibadah yang sama dengan laki-laki. Bahkan, hak yang diberikan islam terhadap wanita sekitar 1.400 tahun yang lalu, jauh lebih dulu dibandingkan di dunia barat pada tahun 1900-an.

Lima puluh tahun yang lalu, wanita dalam masyarakat barat tidak dapat membeli rumah atau mobil tanpa tandatangan dari ayah atau suaminya.

Islam memberikan rasa hormat terhadap wanita dan peran penting dalam masyarakat.

Sebagai catatan, Nabi Muhammad SAW berhasil menghentikan perbuatan keji pada wanita pada masyarakat masa itu. Contohnya, Al Qur'an menghentikan para penyembah berhala yang membunuh bayi perempuan yang lahir.

Jika wanita dalam negara muslim saat ini tidak bisa memperoleh haknya, bukan karena islam tidak memberikan namun karena banyaknya tradisi asing yang dibiasa dilakukan di berbagai tempat yang seakan-akan merupakan ajaran islam. Disebabkan kebodohan atau dampak dari penjajahan.

Penghormatan islam terhadap wanita dapat terlihat dari "mahkota" yang diberikan berupa jilbab dan kerudung, justru sering dianggap oleh orang anti muslim sebagai simbol penindasan dan perbudakan. Allah memerintahkan wanita muslim untuk mengenakan penutup di seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan sebagai pelindung.

Al-Qur'an menyebutkan dengan jelas, menggunakan kerudung sebagai penutup tubuh sebagai kewajiban, bukan sebagai pilihan.

"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab:59)

Al-Qur'an juga menunjukkan pentingnya kerudung untuk kesopanan yang dapat melindungi wanita dari gangguan.

Salah satu tujuan dari penggunaan kerudung dalam islam adalah perlindungan. Kerudung dalam islam tidak bisa diartikan debagai kekuasaan pria terhadap wanita, atau kepemilikan seorang wanita oleh pria. Sebaliknya, hal itu menunjukkan penghormatan dan perhatian terhadap wanita. (islamonline/ri)

Catatan :

Memang Allah Subhanahu Wata'ala telah memberikan petunjuk kepada manusia berupa jalan kebenaran agar seluruh manusia mengetahui kebenaran yang sebenarnya.Jilbab adalah penghormatan islam terhadap wanita, dan tidak mengikuti nafsu para sekuler yang mengeksploitasi tubuh wanita untuk para lelaki yang bukan haknya.

Dampak Buruk & Cara Menyembuhkan Sifat Menyenangi Ghibah (Gossip)



DAMPAK-DAMPAK GHIBBAH

1. Dampaknya Bagi sebuah Kelompok Dakwah

a. Kerasnya Hati, kaum beriman adalah orang-orang yang senantiasa lembut hatinya baik terhadap RABB-nya maupun terhadap sesama saudaranya, alangkah bahagianya kelompok dakwah yang para aktifisnya memiliki hati-hati yang bening bagai kaca, mereka tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan lisan-lisan mereka senantiasa dipenuhi zikir dan doa bagi saudaranya sesama muslim, firman ALLAH:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa : Wahai RABB kami, beri ampunlah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah ENGKAU membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai RABB kami sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayag.” (QS 59/10)

b. Mendapat azab, berupa perpecahan dan silang sengketa yang tidak putus-putusnya dikalangan para aktifisnya dan timbulnya kedengkian dan permusuhan, kata-kata yang kasar dan caci-maki, yang kesemuanya bukan akhlaq yang Islami. ALLAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memperkuat persaudaraan diantara mereka dan menyatakan bahwa persaudaraan itu sebagai salah satu tanda keimanan dalam firman-NYA:

“Hanyalah yang disebut orang-orang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah hubungan diantara saudaramu, dan bertaqwalah kepada ALLAH semoga kalian mendapat rahmat.” (QS 49/10)

2. Dampaknya Bagi para Aktifis

a. Diazab masing-masing, dan azab tersebut disegerakan ketika ia baru masuk ke dalam kubur, kata Ibnu Abbas ra:

Nabi SAW pernah melewati 2 kuburan lalu beliau SAW bersabda : “Kedua orang ini diazab, dan tidaklah mereka diazab karena sesuatu yang besar menurut mereka, padahal ia adalah dosa besar, adapun yang seorang ia sering mengadu domba diantara manusia, adapun yang satunya tidak bersih bersuci setelah buang air kecil.” (HR Bukhari 1/273 dan 276, Muslim 292, abu Daud 20, Tirmidzi 70, Nasai 1/28 dan 30)

b. Malas Melakukan Kewajiban, orang-orang yang berhati busuk maka ia akan kehilangan sifat khusyu’ dalam hatinya dan tidak bisa merasakan kelezatan ibadah dan munajat dalam dirinya, sehingga ibadahnya menjadi kering dari manisnya iman, firman ALLAH SWT:

“Minta tolonglah kalian semua melalui sabar dan shalat, dan sungguh hal itu teramat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang menduga bahwa mereka akan menemui RABB-nya dan mereka akan dikembalikan kepada-NYA.” (QS 2/45-46)

c. Munafik, orang-orang yang berhati busuk pada orang lain maka oleh ALLAH SWT akan dihilangkan sifat kejujuran dalam dirinya dan ditumbuhkan sifat kemunafikan, karena kebiasaannya merusak kehormatan orang mu’min, sabda nabi SAW:

“Ada 4 sifat yang jika lengkap ada pada diri seseorang maka ia akan menjadi munafik sejati, dan jika ada salah satunya maka ia memiliki sifat kemunafikan sampai ditinggalkannya : Jika dipercaya ia khianat, jika bicara ia dusta, jika janji ia ingkar dan jika berdebat maka ia melampaui batas.” (HR Muttafaq ‘alaih)

TERAPI GHIBBAH

1. Senantiasa mengikhlaskan niat kepada ALLAH dalam semua aspek kehidupan dan memperkuat ketaqwaan kepada-NYA, firman-NYA:

“Wahai sekalian manusia sungguh KAMI menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, lalu KAMI menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang paling taqwa diantara kalian adalah yang paling taqwa diantara kalian, sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS 49/13)

2. Merasakan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita dicatat dan akan dipertanggung-jawabkan di hadapan ALLAH SWT, firman-NYA:

“Dan tidaklah satu katapun yang mereka ucapkan kecuali ada malaikat yang senantiasa dekat lagi mencatat.” (QS 50/18)

3. Senantiasa melakukan pengecekan secara teliti terhadap kebenaran berita yang berkenaan dengan diri seseorang atau kelompok, firman-NYA:

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita maka ceklah kebenaran berita itu dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa tahu persis keadaan sebenarnya yang menyebabkan kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49/6)

4. Menahan marah dan mengendalikan hawa-nafsu:

“Dan orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan manusia, maka sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS 3/134)

5. Mencari lingkungan yang bersih dan jauh dari mencaci dan meng-ghibbah orang lain dan menyibukkan diri untuk melihat dan memperbaiki kekurangan diri:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain, karena boleh jadi yang diejek itu lebih baik dari kamu (disisi ALLAH)… Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri (saudara sesama muslim), dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah kalian beriman, dan barangsiapa yang tidak segera bertaubat maka itulah orang-orang yang zalim.” (QS 49/11)

6. Selalu berprasangka baik kepada sesama muslim dan mencarikan alasan baik jika melihat kekurangannya serta menasihatinya secara sembunyi:

“Mengapakah di waktu kalian mendengar berita itu orang-orang mu’min tidak bersangka baik kepada diri mereka sendiri (saudara sesama muslim) dan (lalu) berkata : Ini adalah suatu kedustaan yang nyata.” (QS 24/12)

7. Menutupi aib sesama muslim dan tidak berusaha menyebar-nyebarkan keburukan orang lain:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita tentang perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan ALLAH lebih Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS 24/19)

8. Mendakwahi para ulama dan panutan masyarakat yang memiliki sifat senang mencari-cari kesalahan orang lain dan meng-ghibbah.

9. Mencari kejelasan dari kata-kata dan pembicaraan sehingga tidak menduga-duga maksudnya.

10. Mendakwahi ummat agar sensitif dan mencegah terhadap para pelaku ghibbah.

11. Senantiasa mengingat balasan ALLAH SWT bagi para pelaku ghibbah dan bahayanya bagi ummat.

------------------------------



Abi Abdillah
al-ikhwan.net

Kamis, 09 September 2010

Selamat Hari Raya I'dul Fitri 1431 H


Hidup hanya se [x]

Dosa jangan di [+]

Amal jangan di [-]

Cinta jangan di [:]

Gugur Bunga karena layu...

Gugur Iman karena nafsu...

Gugur Cinta karena Cemburu...

Tertawa karena Bahagia...

Menangis karena Bersedih...

Bertobat karena Berdosa...

BERSIHKAN HATI,sucikan Jiwa,mari kita jalani kehidupan dengan Hati sabar & Tawaqal,berbuat dengan penuh keyakinan & ke'iklasan....

Mohon ma'af atas kesalahan baik ucapan maupun tingkah laku...

Selamat Hari Raya I'dul Fitri 1431 H, Taqabbalallahu minna waminkum, Shiyamanaa wa shiyamakum,Mohon maaf lahir & bathin......

Rabu, 08 September 2010

MILAD 105 TAHUN PONDOK PESANTREN SURYALAYA




Minggu, 5 September 2010. Pondok Pesantren Suryalaya genap berusia 105 tahun. Acara syukuran pun dilaksanakan di madrasah tempat kediaman sesepuh pondok, Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom)..
Berbeda dengan Milad Seabad pada tahun 2005 lalu, dikarenakan pada tahun ini bertepatan dengan Bulan Ramadhan maka acara yang dilaksanakan hanya haol dan ziarah di makam Pendiri Pondok Pesantren Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad dilanjutkan dengan silaturahmi kepada Sesepuh Pondok Pesantren dan diakhiri dengan buka puasa bersama. Adapun acara perayaan Milad 105 Pondok Pesantren Suryalaya secara besar besaran akan dilaksanakan pada 1 - 10 Oktober mendatang dengan jenis kegiatan pameran/baazar, seminar, khitanan massal, donor darah dan sebagainya..
Acara yang dimulai dari jam 17.00 WIB itu diikuti oleh sekitar 1000 ikhwan dan akhwat yang terdiri dari para pengurus Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya Pusat dan daerah, Rektor, Ketua, Dosen, beserta staf Civitas akademika IAI dan STIE Latifah Mubarokiyah, para santri Pengajian Pondok Pesantren suryalaya, dan ikhwan akhwat di sekitar Pondok Pesantren dan dari luar daerah.
Ikhwan dan akhwat yang mengikuti acara syukuran Milad 105 Pondok Pesantren Suryalaya dan silaturahmi dengan Pangersa Abah.
setelah buka puasa bersama dilanjutkan dengan shalat maghrib dan dzikri berjamaah, makan, shalat isya, dzkir, serta shalat tarawih secara berjamaah pula di masjid Nurul Asror.


Jumat, 03 September 2010

Zakat Fitrah

Ta’rif dan Hukumnya
  • Zakat atau sedekah fitrah adalah zakat yang disebabkan datangnya Idul Fitri setelah Ramadhan. Diwajibkan pada tahun kedua hijriyah –bersamaan dengan kewajiban puasa– dan berbeda dengan zakat-zakat yang lainnya karena zakat ini wajib atas setiap orang, bukan atas kekayaan.
  • Jumhurul ulama bersepakat bahwa zakat fitrah itu hukumnya wajib, seperti dalam hadits Ibnu Umar bahwa, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan satu sha’ kurma dan gandum atas setiap orang merdeka atau budak sahaya, laki-laki dan wanita umat Islam ini.” (Al-Jama’ah). Demikianlah pendapat empat madzhab.
  • Rasulullah saw. telah menjelaskan hikmah zakat fitrah, yaitu sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia yang sangat sulit dihindari saat sedang berpuasa. Zakat fitrah juga menjadi makanan fakir miskin pada Hari Raya sehingga mereka semua dapat merayakan Idul Fitri dengan senang dan bahagia.
Siapa yang diwajibkan?
  • Zakat ini diwajibkan kepada setiap muslim, baik merdeka atau budak, laki-laki atau wanita, besar atau kecil, kaya atau miskin. Seorang laki-laki mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang isteri mengeluarkan zakat untuk dirinya atau oleh suaminya. Tidak wajib dibayarkan untuk bayi yang masih dalam kandungan, meskipun disunnahkan menurut Ahmad bin Hanbal.
  • Jumhurul ulama mensyaratkan zakat itu kepada seorang muslim yang memiliki kelebihan makanan pada Hari Ied itu sebesar zakat fitrah yang menjadi kewajibannya. Hutang yang belum jatuh tempo tidak boleh menggeser kewajiban zakat, berbeda dengan hutang yang sudah jatuh tempo (yang harus dibayar seketika itu).
Besar Zakat Fitrah
  • Tiga ulama (Malik, Syafi’i, dan Ahmad) telah bersepakat bersama jumhurul ulama bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Seperti yang ada dalam hadits di atas juga hadits Abu Said Al-Khudri, “Kami pernah membayar zakat fitrah dan Rasulullah saw. bersama kami, berupa satu sha’ makanan, atau kurma, atau gandum. Seperti itu kami membayar zakat, sampai di zaman Muawiyah datang di Madinah yang mengatakan, ‘Sekarang saya berpendapat bahwa dua mud gandum Syam itu sama dengan satu sha’ kurma.’ Lalu pendapat ini dipakai kaum muslimin saat itu.” (Al-Jama’ah). Madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ dari semua jenis makanan.
  • Satu sha’ adalah empat sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar atau empat mud. Karena satu mud itu juga sebesar sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar, jika dikonversi sekitar 2.176 gr.
  • Zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok mayoritas penduduk di suatu negeri, atau dari mayoritas makanan pokok muzakki jika lebih baik dari pada makanan pokok negeri mustahik. Demikianlah pendapat jumhurul ulama.
  • Diperbolehkan membayar dengan nilai uang satu sha’ jika lebih bermanfaat bagi fakir miskin. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, yang diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Al Bashri, pendapat yang lebih mudah dikerjakan pada masa sekarang ini.
Waktu Membayarkannya
  • Zakat fitrah wajib dibayar oleh orang yang bertemu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Ini menurut madzhab Syafi’i. Atau yang bertemu dengan terbit fajar Hari Ied, menurut madzhab Hanafi dan Maliki.
  • Wajib mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Ied, seperti dalam hadits Ibnu Abbas. Diperbolehkan membayarnya lebih awal sejak masuk bulan Ramadhan, menurut madzhab Syafi’i. Dan yang utama mengakhirkannya satu atau dua hari menjelang Iedul Fitri. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki. Diperbolehkan mendahulukannya sampai awal tahun menurut madzhab Hanafi, beralasan bahwa namanya tetap zakat. Dan menurut madzhab Hanbali diperbolehkan mensegerakannya mulai dari separuh kedua bulan Ramadhan.
Kepada Siapa Zakat Ini Dibagikan?
  • Para ulama bersepakat bahwa zakat fitrah ini dibagikan kepada fakir miskin kaum muslimin. Abu Hanifah memperbolehkan pembagianya kepada fakir miskin ahli dzimmah (orang kafir yang hidup di dalam perlindungan pemerintahan Islam).
  • Prinsipnya bahwa zakat fitrah itu diwajibkan untuk dibagkan kepada fakir miskin, sehingga tidak diberikan kepada delapan ashnaf lainnya. Kecuali jika ada kemaslahatan atau kebutuhan lain. Zakat ini juga hanya dibagikan di negeri zakat itu diambil, kecuali jika di negeri itu tidak ada fakir miskin, diperbolehkan untuk memindahkannya ke negara lain.
  • Zakat fitrah tidak boleh dibagikan kepada orang yang tidak boleh menerima zakat mal seperti orang murtad, fasik yang mengganggu kaum muslimin, anak, orang tua, atau isteri.