“Para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa’: 19)
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi no. 3895, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Bagaimanakah gambaran pergaulan suami dengan istrinya dalam sebuah rumah tangga?
Berikut ini penjelasannya:
1. Masing-masing pihak bergaul dengan akhlak yang baik kepada pasangannya, berlaku lembut, dan sabar dengan kekurangannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:
“Mintalah wasiat kebaikan dalam perkara istri-istri kalian karena sungguh mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.” (HR. Ahmad 5/72, At-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Majah no. 1851, hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
2. Sepantasnya seorang suami tetap menahan istrinya dalam pernikahan, tidak bermudah-mudah dalam mentalak (menceraikan), walaupun ada sesuatu yang tidak disukainya dari si istri.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’: 19)
Ketika memaknai ayat yang mulia di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, bisa jadi si suami diberi rezeki berupa anak dari istri tersebut, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan kebaikan yang banyak pada diri si anak. (Tafsir Ibni Katsir, 2/173)
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu akhlak dari si mukminah maka (bisa jadi) ia ridha darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
3.Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itulah hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menyetubuhi istri) di waktu haid dan janganlah kalian mendekati (menyetubuhi) mereka sampai mereka suci (mandi bersih dari haid). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
4. Suami boleh memaksa istrinya menghilangkan hal-hal yang disukainya yang ada pada si istri.
Termasuk dalam hal ini menghilangkan sesuatu yang memang jiwa tidak menyukainya, seperti rambut ketiak dan kuku yang panjang. Suami juga berhak melarang istrinya memakan makanan yang memiliki bau tidak sedap, karena hal itu akan membuat si suami “lari” darinya.
Suami dapat memaksa istrinya untuk membasuh najis yang ada pada tubuh si istri dan memerintahnya menunaikan kewajiban agama seperti shalat lima waktu. Bila si istri enggan, suami harus memaksanya dan memberikan hukuman pendidikan kepadanya. Suami juga harus memaksa istrinya meninggalkan perkara-perkara yang haram. Kenapa semua ini harus dilakukan suami? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian kalian (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa’: 34)
”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah/peliharalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah kalian dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memuji Nabi-Nya, Ismail as:
“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Ia memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat.” (Maryam: 54-55)
Seorang suami adalah penanggung jawab terhadap istrinya dan ia adalah pemberi arahan kepada istrinya. Kelak di hari kiamat, ia akan ditanya tentang tanggung jawab ini. Suami harus mendidik istrinya terlebih jika mengingat istri merupakan pendidik anak-anaknya. Tentunya bila rusak akhlaknya dan cacat agamanya niscaya akan merusak anak-anaknya.
5. Termasuk pergaulan yang baik kepada istri adalah suami memberikan nafkah batin kepadanya paling tidak empat bulan sekali.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi tenggang waktu empat bulan kepada suami yang meng-ilaa’ (1) istrinya, setelahnya ia harus kembali menggauli istrinya dengan membayar kaffarah sumpah atau mentalaknya (2). Waktu empat bulan ini pun diqiyaskan untuk selain kasus ilaa’. Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berpandangan kewajiban memberi nafkah batin kepada istri ini tidak ada penetapan waktu berapa lamanya, namun disesuaikan kadar yang dirasa cukup oleh istri selama tidak memadharatkan suami atau menyibukkannya dari mencari penghidupan.
6. Bila suami safar (bepergian) meninggalkan istrinya lebih dari setengah tahun sedangkan si istri memintanya pulang, maka suami harus pulang menemui istrinya.
Hal ini terkecuali bila dalam safar haji yang wajib atau peperangan yang wajib, ataupun suami tidak memiliki kemampuan untuk pulang.
7. Haram bagi masing-masing pihak untuk menceritakan kepada orang lain tentang hubungan intim yang berlangsung di antara mereka.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan:
“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan istrinya berhubungan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 1437)
Siapa yang berbuat demikian, ia serupa dengan setan laki dan setan perempuan yang berhubungan di jalanan dan ditonton oleh orang-orang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ bintu Yazid radhiyallahu ‘anha, “Aku sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara para lelaki dan wanita tengah duduk-duduk. Beliau pun bersabda:
“Mungkin ada seorang lelaki menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya dan mungkin ada seorang wanita mengabarkan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” Orang-orang yang hadir terdiam. Maka aku menjawab, “Iya, demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun melakukannya.” Rasulullah memberi bimbingan, “Jangan kalian lakukan hal tersebut, karena permisalannya tidak lain seperti setan jantan bertemu setan betina di satu jalan lalu ia menggaulinya sementara orang-orang menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, dan dalam sanadnya ada Syahr ibnu Hausyab dan tentang dirinya ada pembicaraan. Namun hadits ini terangkat menjadi hasan dengan syawahid [penguat]nya)
8. Suami berhak melarang istrinya keluar rumahnya tanpa ada kebutuhan darurat.
Ia tidak boleh membiarkan istrinya pergi sesukanya. Haram pula bagi istri keluar rumah tanpa izin suaminya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau menegaskan, “Bila sampai istri keluar dari rumah suaminya tanpa izin si suami berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya hingga ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
9. Tidak sepantasnya suami melarang mertuanya untuk mengunjungi istrinya (putri mereka) di rumah sang suami, kecuali bila ia mengkhawatirkan keduanya akan merusak hubungannya dengan istrinya atau meracuni pikiran istrinya.
10.Suami berhak melarang istrinya bekerja, karena suamilah yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istrinya.
Disamping itu, bila si istri bekerja akan melalaikannya dari menunaikan sebagian hak suaminya, menelantarkan pendidikan anak-anaknya, memperhadapkan si istri kepada penyimpangan akhlak, khususnya di zaman ini di mana rasa malu semakin sedikit dan penyeru kepada kejelekan semakin banyak. Banyaklah didapati para wanita bercampur baur dengan lelaki di kantor-kantor dan lapangan pekerjaan yang lain. Tidak jarang pula terjadi khalwat (bersepi-sepi/berduaan) yang diharamkan.
11.Istri tidak boleh menaati kedua orangtuanya bila keduanya memintanya berpisah dengan suaminya.
Taat kepada suami hendaknya lebih dikedepankan, karena suami ibaratnya surga dan neraka bagi seorang istri. Bahkan bila seorang istri diminta datang mengunjungi kedua orangtuanya sementara suaminya tidak ridha (tidak memberi izin), maka mentaati suami adalah lebih utama.
Bibi Hushain bin Mihshan radhiyallahu ‘anhu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
“Apakah engkau punya suami?” Ia menjawab, “Iya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali dalam perkara yang memang aku tidak mampu.” Rasulullah memberi nasihat, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341, An-Nasa’i no. 8962, Al-Hakim 2/206, ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati Adz-Dzahabi rahimahullahu. Sanadnya memang shahih, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, lihat Adabuz Zifaf, hal. 214 dan Ash-Shahihah no. 2612)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki :
(1) Suami bersumpah tidak ingin menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan.
(2)Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
“Kepada para suami yang meng-ilaa’ istri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika setelah itu mereka kembali (menggauli istri mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 226-227)
(Sumber : Nukilan dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Kitabun Nikah, bab Fi ‘Isyratun Nisa’, 2/307-312, karya Fadhilatusy, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dengan beberapa perubahan dan tambahan, oleh penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, dan sedikit penyederhanaan bahasa dari pengelola blog Kebun Hidayah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar